Dalam setiap
pengambilan keputusan sangat sering pengasuh pondok mengucurkan air mata.
Seorang santri yang dikeluarkan dari pondok pesantren karena melanggar
disiplin, melampaui sunnah, maka pengasuh sering tertegun, berdiam diri,
termenung beberapa saat, sebelum menandatangani surat keputusan dari Bagian
Keamanan yang diajukan kepada beliau.
Seiring mata tangan
mengayunkan pena untuk membubuhi tanda tangan di atas surat keputusan, air mata
telah lebih dahulu menetes jatuh ke atas kertas sebelum pena mengayun.
Terbayang juga di wajah
pengasuh seorang bapak yang datang dari seberang misalnya, sering mencucurkan
air mata di hadapan beliau minta agar anaknya diterima di pondok pesantren karena
sudah sejak keluar dari rumah niatnya hanya untuk menyerahkan anak-anaknya
kepada pengasuh pondok.
Dalam menghadapi hal yang
serupa itu hanya air mata yang dapat menyelesaikannya. Air mata dibalas dengan
air mata.
Anak-anak yang tidak
lulus ujian masuk, tetap belum dapat diterima karena hanya ujian yang menjadi
ukuran ilmiah. Kepulangan mereka karena tidak lulus amat mengharukan hati
pengasuh, terkenang bagaimana rasanya orangtua yang menanti berita di kampung
setelah menerima berita anaknya yang tidak lulus itu.
Setelah berakhirnya tahun
ajaran, setelah anak-anak menyelesaikan ujian, tentu nasib dari tiap-tiap
seorang anak diketahui. Di antaranya ada yang naik dan tidak naik kelas atau
naik kelas sebagai percobaan.
Selain penyampaian
nasihat secara resmi kepada segenap santri, pengasuh selalu memberikan
keterangan, penjelasan kepada santri-santri yang naik kelas ataupun tidak naik
kelas.
Ini juga diberikan
penjelasan kepada orangtua agar lebih meresap. Inilah sebuah keikhlasan yang
dinyatakan atas sebuah keputusan yang telah diambil dan dirumuskan bagi
santri-santri yang naik kelas dan yang tidak naik kelas.
Jika santri kuat dan
sabar, maka ia akan merasa puas, demikian pula teman sejawatnya. Pondok pesantren
akan turut puas, begitu pula orangtua, sanak famili, masyarakat yang menanti
kedatangannya. Adapun anak yang dipulangkan, yang terpaksa angkat koper keluar pondok
pesantren, bukan sama sekali dikarenakan benci, bukan berarti tak disayangi.
Hal yang serupa ini
dijalankan, dilaksanakan mengingat pada perbaikan bersama, lebih-lebih demi
untuk kemaslahatan anak itu sendiri. Jadi, memulangkan santri bukan karena
benci, untuk merusak atau menjatuhkan harga dirinya.
Mungkin disebabkan
kejadian itu ia akan insaf sehingga menjadi pelajaran bagi dirinya, dan
kemungkinan pula pondok pesantren tak sesuai dengan pembawaan serta tabiatnya.
Bisa jadi, dia akan membawa kebahagiaan di tempat lain.
Yang amat penting lagi,
pengusiran dilakukan untuk menjaga kepentingan pendidikan santri-santri yang
masih tinggal di pondok yang sekian banyak itu. Lebih baik mempersilakan
penumpang yang merusak keluar daripada membiarkannya dan mempengaruhi yang
lain.
Begitulah penjelasan yang
disampaikan pimpinan pondok dalam pekan perkenalan. Kini setiap santri memiliki
kemantapan hati untuk menuntut ilmu di pondok pesantren. Pekan perkenalan
seperti membukakan hati dan cakrawala pikiran mereka tentang keseluruhan pondok
dan sistemnya yang harus dipegang teguh selama belajar di pondok pesantren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar