Tulisan ini dimuat di Republika, Islam Digest, Kolom Kitab, 14 Juni 2009
Makna “perjalanan
menuju Allah” adalah berpindah dari akal non syar’i kepada akal syar’i, dari
hati yang sakit dan keras kepada hati yang sehat, dari ruh yang lari dari pintu
Allah kepada ruh yang mengenal Allah, dan dari jiwa yang kotor kepada jiwa yang
suci bergelimang cahaya, seperti yang tergambar dalam Alquran, Surat an-Nur
ayat 35-38.
Ayat ini
merupakan perumpamaan tahapan-tahapan “menuju cahaya Allah swt”. Jasad
diumpamakan Al-Misykât, sebuah lubang di dinding yang tidak tembus. Hati
diumpamakan az-Zujâjah, tabung kaca yang berisi pelita besar. Dan hati yang
suci diumpamakan Al-Mishbâh, pelita besar yang bercahaya.
Dalam
Kitab Sir al-Asrar, ketika menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdul Qadir Jailani
menyatakan, “Jika cahaya Allah—yang merupakan cahaya langit dan bumi—menerangi
hatimu, ia akan menyalakan lentera hatimu, yang berada dalam kaca yang bening.
Dan berkilaulah bintang ilahi dalam hatimu. Kilauan itu memancar dari awan
makna yang tak berasal dari Timur maupun Barat, menyala dari pohon zaitun, cahaya
itu memantul dari pohon itu, sangat jernih dan terang seolah-olah memancarkan
cahaya meski tak disentuh api. Ketika itulah lentera hikmah menyala terang.
Bagaimana mungkin ia padam jika cahaya Allah menerangi seluruh relungnya?”
Dari
pernyataan tersebut, setidaknya ada empat perumpamaan tahap untuk sampai pada
cahaya Allah. Pertama, manusia mempunyai dua potensi, jasad dan hati. Lubang di
dinding rumah yang tidak tembus ibarat jasad dan tabung kaca ibarat hati. Dan
cahaya keimanan akan masuk ke dalam hati seorang mukmin.
Kedua,
ketetapan bagi seorang mukmin adalah selalu terikat dengan hukum syara’. Pohon
zaitun merupakan perumpamaan dari syariat Allah yang tidak miring ke Timur dan
tidak pula miring ke Barat. Inilah cahaya Alquran.
Ketiga,
syariat yang bermanfaat bagi manusia ibarat pohon yang diberkahi. Syariat Islam
yang mengatur semua perkara kehidupan manusia, akan memberikan kepuasan bagi
akal, menenangkan hati, sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan menjadi rahmat
bagi seluruh alam. Di sinilah cahaya iman dan cahaya Alquran menyatu.
Keempat, ketika
cahaya Alquran dan cahaya iman berkumpul, niscaya keduanya akan menerangi.
Salah satu dari keduanya tidak akan ada jika tidak ada yang lain. Cahaya yang
merupakan gambaran dari kebenaran yang memiliki bentuk berlapis-lapis. Ia
diperkuat oleh lubang dinding yang tidak tembus, tabung kaca, pelita dan
minyak, hingga tidak ada satu pun yang tidak memperkuat cahaya itu.
Jika
manusia mengamalkan Alquran, maka akan bertambahlah cahaya hatinya. Cahaya ini
akan senantiasa membekas pada lubang dinding, yakni jasad manusia, hingga sang
jasad bisa memberi sinar bagi jalan yang dilaluinya dan orang selain dirinya.
Syaikh
Abdul Qadir Jailani mengatakan, “Semua itu berawal sejak kau membersihkan
cermin hati. Cahaya hakikat ilahi akan menyinarinya jika kau menghendaki dan
mencari-Nya, dari-Nya, bersama-Nya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar