Rabu, 14 November 2012

Tafsir Sufi, Menyingkap Rahasia Cakrawala Misykat

Oleh Wiyanto Suud

Tulisan ini dimuat di Republika, Islam Digest, Kolom Kitab, 14 Juni 2009
 Makna “perjalanan menuju Allah” adalah berpindah dari akal non syar’i kepada akal syar’i, dari hati yang sakit dan keras kepada hati yang sehat, dari ruh yang lari dari pintu Allah kepada ruh yang mengenal Allah, dan dari jiwa yang kotor kepada jiwa yang suci bergelimang cahaya, seperti yang tergambar dalam Alquran, Surat an-Nur ayat 35-38.
Ayat ini merupakan perumpamaan tahapan-tahapan “menuju cahaya Allah swt”. Jasad diumpamakan Al-Misykât, sebuah lubang di dinding yang tidak tembus. Hati diumpamakan az-Zujâjah, tabung kaca yang berisi pelita besar. Dan hati yang suci diumpamakan Al-Mishbâh, pelita besar yang bercahaya.
Dalam Kitab Sir al-Asrar, ketika menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdul Qadir Jailani menyatakan, “Jika cahaya Allah—yang merupakan cahaya langit dan bumi—menerangi hatimu, ia akan menyalakan lentera hatimu, yang berada dalam kaca yang bening. Dan berkilaulah bintang ilahi dalam hatimu. Kilauan itu memancar dari awan makna yang tak berasal dari Timur maupun Barat, menyala dari pohon zaitun, cahaya itu memantul dari pohon itu, sangat jernih dan terang seolah-olah memancarkan cahaya meski tak disentuh api. Ketika itulah lentera hikmah menyala terang. Bagaimana mungkin ia padam jika cahaya Allah menerangi seluruh relungnya?”
Dari pernyataan tersebut, setidaknya ada empat perumpamaan tahap untuk sampai pada cahaya Allah. Pertama, manusia mempunyai dua potensi, jasad dan hati. Lubang di dinding rumah yang tidak tembus ibarat jasad dan tabung kaca ibarat hati. Dan cahaya keimanan akan masuk ke dalam hati seorang mukmin.
Kedua, ketetapan bagi seorang mukmin adalah selalu terikat dengan hukum syara’. Pohon zaitun merupakan perumpamaan dari syariat Allah yang tidak miring ke Timur dan tidak pula miring ke Barat. Inilah cahaya Alquran.
Ketiga, syariat yang bermanfaat bagi manusia ibarat pohon yang diberkahi. Syariat Islam yang mengatur semua perkara kehidupan manusia, akan memberikan kepuasan bagi akal, menenangkan hati, sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Di sinilah cahaya iman dan cahaya Alquran menyatu.
Keempat, ketika cahaya Alquran dan cahaya iman berkumpul, niscaya keduanya akan menerangi. Salah satu dari keduanya tidak akan ada jika tidak ada yang lain. Cahaya yang merupakan gambaran dari kebenaran yang memiliki bentuk berlapis-lapis. Ia diperkuat oleh lubang dinding yang tidak tembus, tabung kaca, pelita dan minyak, hingga tidak ada satu pun yang tidak memperkuat cahaya itu.
Jika manusia mengamalkan Alquran, maka akan bertambahlah cahaya hatinya. Cahaya ini akan senantiasa membekas pada lubang dinding, yakni jasad manusia, hingga sang jasad bisa memberi sinar bagi jalan yang dilaluinya dan orang selain dirinya.
Syaikh Abdul Qadir Jailani mengatakan, “Semua itu berawal sejak kau membersihkan cermin hati. Cahaya hakikat ilahi akan menyinarinya jika kau menghendaki dan mencari-Nya, dari-Nya, bersama-Nya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar