Oleh
Wiyanto Suud
Tulisan ini dimuat di “Hikmah” Republika, 6
Maret 2010
Belenggu
masa lalu sering kali menghalangi seseorang untuk maju. Belenggu itu bisa
berupa pengalaman buruk karena kelalaian dan kesalahan; bisa juga berupa
romantisme sejarah karena prestasi dan kejayaan di masa silam. Padahal, nilai
kehidupan seseorang ditentukan oleh apa yang telah ia kerjakan. Allah SWT
berfirman, “Dan kamu tidak dibatasi, kecuali dengan apa yang telah dikerjakan.”
(QS. Yasin [36]: 54)
Imam
Al-Ghazali pernah bertanya kepada murid-muridnya tentang sesuatu yang paling
jauh dari keberadaan mereka sekarang. Di antaranya, ada yang menjawab negara
Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Ia lalu menjelaskan bahwa semua
jawaban itu benar, tapi yang paling benar adalah masa lalu. Karena, masa lalu
tidak akan pernah kembali lagi.
Oleh sebab
itu, setiap orang haruslah menyikapi masa lalunya secara arif. Kearifan di sini
bisa dianalogikan dengan seorang sopir. Ketika mengendarai mobil, si sopir
sesekali melihat kaca spion. Kaca spion digunakan untuk melihat dan
mengantisipasi kondisi di belakang kendaraan, agar perjalanan ke depan berjalan
mulus. Meski rutin melihat spion, fokus pandangan sopir tetap ke depan.
Demikianlah
gambaran bagaimana seharusnya manusia menyikapi sejarah dan masa depannya. Ia
tidak menafikan sejarah masa lalunya, tetapi justru menjadikannya acuan untuk
membangun kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Allah SWT berfirman,
"Wahai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah, dan hendaklah
setiap jiwa melihat apa yang telah ia lakukan untuk masa depannya." (QS.
Al-Hasyr [59]: 18).
Mengenai
masalah ini, Imam Hasan Bashri berwasiat, “Tidaklah ada satu hari pun di mana
fajar merekah, kecuali si hari berseru, 'Wahai anak Adam, aku adalah makhluk
yang baru, dan menjadi saksi atas perbuatanmu. Maka ambillah bekal dariku,
karena aku tidak akan pernah kembali sampai hari kiamat kelak.’”
Oleh
karena itu, kalau kita bisa berdamai dengan masa lalu, kita bisa terlepas dari
belenggu. Kita bisa melangkah maju tanpa beban, lebih dinamis, dan penuh dengan
sikap optimis. Ketika selesai dari satu pekerjaan, hendaknya setiap orang dari
kita segera beralih melakukan pekerjaan baru. Dan, mengerjakan segala sesuatu
itu dengan sungguh-sungguh. (QS. Al-Insyirah [94]: 7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar