Rabu, 14 November 2012

Generasi Ghuraba

Oleh Wiyanto Suud
Tulisan ini dimuat di “Hikmah” Republika, 26 Juni 2010
Rasulullah bersabda, "Islam bermula dalam keadaan asing, dan akan kembali terasing seperti semula, maka beruntunglah orang-orang yang terasing (al-Ghuraba)." (HR. Muslim dari Abu Hurairah, hadits mutawatir).
Keterasingan yang dimaksud dalam hadits ini, bisa dibagi menjadi dua. Pertama, ketika Allah menurunkan agama Islam kepada Nabi Muhammad SAW. Agama Islam menjadi terasing, karena mengajarkan tauhid yang murni. Bagi kaum jahiliyah saat itu, Islam dianggap sesuatu yang aneh dan asing.
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa keterasingan Islam yang pertama ini terjadi hanya pada permulaannya. Dengan perjuangan yang gigih dan tak kenal lelah, hingga membuahkan hasil yang menggembirakan. Bahkan, manusia pun akhirnya berbondong-bondong masuk agama Allah, dan bertasbih dengan memuji serta memohon ampun kepada-Nya (QS. An-Nashr: 1-3).
Sejak saat itulah, Islam berkembang pesat ke seluruh penjuru dunia dan hilanglah periode keterasingan pertama ini. Maka Allah pun menyatakan bahwa agama Islam telah sempurna, dan paripurna pula tugas Rasulullah SAW (QS. Al-Maidah: 3).
Keterasingan kedua, yaitu setelah Islam berkembang pesat ke seluruh dunia. Islam menjadi asing bukan karena jumlah umatnya yang sedikit. Seperti saat ini, jumlah umat Islam di seluruh dunia mencapai 1,57 miliar jiwa, atau sekitar 23 persen dari total penduduk dunia (6,8 miliar jiwa).
Ibnu Taymiyah menjelaskan bahwa keterasingan yang kedua ini terjadi ketika berkembangnya bidah, dan umumnya manusia tidak mengenal sunah. Ketika ditanya siapakah orang-orang yang terasing itu, Rasulullah SAW menjawab, "Orang-orang yang mengadakan perbaikan ketika manusia sudah rusak, orang yang maksiat lebih banyak daripada orang yang taat." (HR. Ahmad)
Hasan al-Bashri mendeskripsikan keterasingan periode ini dengan ungkapan, "Orang mukmin di dunia kala itu seperti orang asing yang tidak risau terhadap kehinaannya dan tidak mau bersaing untuk mendapatkan kemuliaannya, karena ia memiliki suatu urusan sedangkan orang lain memiliki urusan yang lain."
Meskipun kaum itu terasing, tetapi merekalah yang mendapatkan keberuntungan. Para Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata thuba. Ada yang mengatakan bahwa thuba berasal dari kata thayyib (baik), sehingga hadis tersebut diartikan dengan balasan kebaikan yang akan diberikan kepada orang-orang yang terasing. Yang mencakup segala kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar