Rabu, 14 November 2012

Dari Karma ke Darma

Oleh Wiyanto Suud
Tulisan ini dimuat di Jawa Pos, Rubrik di Balik Buku, Minggu, 2 Januari 2011
Jadi editor itu karma. Karena ketika hasil penyuntingan bagus, maka yang dipuji tentunya penulis atau penerjemah. Tapi, ketika hasil penyuntingan jelek, maka yang dicaci biasanya editor, bukan penulis atau penerjemah.
Secara umum, kita sering mengartikan kata karma dengan konotasi negatif dan seram. Kita sering dengar nasihat untuk tidak melakukan suatu kesalahan atau dosa, agar tak kena karma. Kesan yang muncul pun seakan-akan karma itu negatif, hanya ganjaran bagi perbuatan salah. Karma senantiasa dibicarakan sebagai sesuatu yang tidak baik.
Dalam konsep ajaran Agama Budha, istilah karma sangatlah banyak dipergunakan dan keberadaannya sangat lekat dengan kehidupan umatnya. Demikian juga dalam pandangan Agama Hindu, yang sesungguhnya sangat banyak memiliki kemiripan konsep dan ajaran dengan agama Budha. Kedua agama ini menyetarakan makna karma dengan kearifan (wisdom).
Makna karma yang sesungguhnya adalah perbuatan manusia itu sendiri selama hidup di dunia, aksi reaksi dan kontemplasi, atau hukum sebab akibat. Terkadang, keberadaan hukum karma disamakan dengan nasib, bahkan suratan takdir. Di balik itu perlu dipahami bahwa suratan itu ditulis sendiri oleh yang bersangkutan, sama sekali bukan oleh orang atau pihak lain. Kalau perbuatan yang dilakukan baik, ya pasti hasilnya akan baik juga. Kalau yang dilakukan adalah perbuatan yang tidak baik, ya hasilnya juga demikian.
Kita bebas memilih, karena hidup memang pilihan. Tapi kita tidak bebas memilih akibat dari perbuatan itu. Karena sesungguhnya antara perbuatan dan hasilnya tak pernah bisa dipisahkan. Suatu perbuatan itu sudah satu paket dengan hasilnya, bagaikan dua sisi mata uang.
Hukum karma atau lengkapnya disebut dengan hukum karma phala, merupakan hukum aksi reaksi, hukum sebab akibat. Oleh karena ada suatu sebab, maka akan ada suatu akibat. Oleh karena ada satu aksi, akan ada suatu reaksi, dan seterusnya. Hukum inilah yang mengatur kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos, kehidupan di alam semesta dan kehidupan semua makhluk hidup.
Setidaknya ada empat sifat hukum karma, pertama, abadi dan berlaku sepanjang zaman. Keberadaan hukum ini dimulai pada saat alam semesta ini ada dan akan berakhir pada hari kiamat kelak. Dan pada zaman apa pun, hukum ini tetap berlaku dan tidak mengalami perubahan.
Kedua, universal. Hukum ini berlaku pada setiap ciptaan Tuhan. Di mana pun berada, bagaimana pun wujud ciptaan itu, hukum ini berlaku baginya. Mempercayai atau tidak mempercayai keberadaan hukum ini, jika masih berada di alam semesta ini, hukum ini tetap bekerja baginya.
Ketiga, sempurna. Karena kesempurnaannya, kerja hukum ini tak dapat diganggu gugat, diubah atau dipaksa berubah. Sifatnya konstan dan tidak berubah dari zaman ke zaman. Hukum ini hanya dapat ditaklukkan dengan cara mengikuti alur kerjanya, diiringi dengan keikhlasan yang dalam.
Sang buddha mengatakan bahwa segala hal yang ada di dunia ini saling terikat, saling terkait, dan saling memengaruhi. Sebab akibat yang diajarkan Buddha bukan sekadar satu arah, namun lebih kompleks bagaikan jaring laba-laba yang saling terikat dan berpengaruh.
Getaran di satu titik pada bagian jaring, akan memberikan dampak terhadap sekitarnya. Tentunya, yang paling dekat yang menerima dampak yang lebih besar daripada bagian jaring yang jauh. Sama seperti itu pula, setiap tindakan seseorang, akan memengaruhi dan memberikan dampak terutama terhadap orang-orang serta lingkungan sekitarnya. Inilah makna ajaran Buddha yang paling dalam dan khas, “kesalingterkaitan antar segala sesuatu” (paticcasamupada).
Ajaran Buddha juga tidak mengenal “diri” atau roh kekal pada diri seseorang. Sang Buddha mengajarkan bahwa segala yang ada di dunia selalu mengalami perubahan, sehingga tidak memerlukan suatu “diri” yang tetap. Ketidaktahuan dan kebodohan karena tidak dapat menerima perubahan itulah yang dikatakan Buddha sebagai penderitaan (dukkha).
Karena tidak adanya “diri” yang tetap, Buddha mengajarkan bahwa lakukan hal-hal yang baik demi diri sendiri maupun orang lain. Bukan hanya demi diri sendiri, namun juga demi orang lain. Bukan pula hanya demi orang lain tanpa melatih diri sendiri. Kebahagiaan orang lain sama dengan kebahagiaan diri sendiri.
Itulah harapan Sang Buddha yang terus-menerus membagi ajaran dan cara-cara untuk mendapatkan kebahagiaan sebenarnya, selama 45 tahun Beliau menyebarkan ajaran (Darma) demi orang banyak.
Dengan demikian, darma itulah kuncinya (keikhlasan). Jika tugas penyuntingan dimaknai sebagai darma, maka satu-satunya pilihan adalah menjadikan sebuah karya itu bagus, dengan semangat pengabdian. Itulah spirit seorang editor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar