Oleh
Wiyanto Suud
Tulisan
ini dimuat di Jawa Pos, Rubrik di Balik Buku, Minggu, 2 Januari 2011
Jadi
editor itu karma. Karena ketika hasil penyuntingan bagus, maka yang dipuji
tentunya penulis atau penerjemah. Tapi, ketika hasil penyuntingan jelek, maka
yang dicaci biasanya editor, bukan penulis atau penerjemah.
Secara
umum, kita sering mengartikan kata karma dengan konotasi negatif dan seram.
Kita sering dengar nasihat untuk tidak melakukan suatu kesalahan atau dosa,
agar tak kena karma. Kesan yang muncul pun seakan-akan karma itu negatif, hanya
ganjaran bagi perbuatan salah. Karma senantiasa dibicarakan sebagai sesuatu
yang tidak baik.
Dalam
konsep ajaran Agama Budha, istilah karma sangatlah banyak dipergunakan dan
keberadaannya sangat lekat dengan kehidupan umatnya. Demikian juga dalam
pandangan Agama Hindu, yang sesungguhnya sangat banyak memiliki kemiripan
konsep dan ajaran dengan agama Budha. Kedua agama ini menyetarakan makna karma
dengan kearifan (wisdom).
Makna
karma yang sesungguhnya adalah perbuatan manusia itu sendiri selama hidup di
dunia, aksi reaksi dan kontemplasi, atau hukum sebab akibat. Terkadang,
keberadaan hukum karma disamakan dengan nasib, bahkan suratan takdir. Di balik
itu perlu dipahami bahwa suratan itu ditulis sendiri oleh yang bersangkutan,
sama sekali bukan oleh orang atau pihak lain. Kalau perbuatan yang dilakukan
baik, ya pasti hasilnya akan baik juga. Kalau yang dilakukan adalah perbuatan
yang tidak baik, ya hasilnya juga demikian.
Kita bebas
memilih, karena hidup memang pilihan. Tapi kita tidak bebas memilih akibat dari
perbuatan itu. Karena sesungguhnya antara perbuatan dan hasilnya tak pernah
bisa dipisahkan. Suatu perbuatan itu sudah satu paket dengan hasilnya, bagaikan
dua sisi mata uang.
Hukum
karma atau lengkapnya disebut dengan hukum karma phala, merupakan hukum aksi
reaksi, hukum sebab akibat. Oleh karena ada suatu sebab, maka akan ada suatu
akibat. Oleh karena ada satu aksi, akan ada suatu reaksi, dan seterusnya. Hukum
inilah yang mengatur kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos, kehidupan di alam
semesta dan kehidupan semua makhluk hidup.
Setidaknya
ada empat sifat hukum karma, pertama, abadi dan berlaku sepanjang zaman. Keberadaan hukum ini dimulai pada
saat alam semesta ini ada dan akan berakhir pada hari kiamat kelak. Dan pada
zaman apa pun, hukum ini tetap berlaku dan tidak mengalami perubahan.
Kedua, universal. Hukum ini berlaku pada setiap ciptaan
Tuhan. Di mana pun berada, bagaimana pun wujud ciptaan itu, hukum ini berlaku
baginya. Mempercayai atau tidak mempercayai keberadaan hukum ini, jika masih
berada di alam semesta ini, hukum ini tetap bekerja baginya.
Ketiga, sempurna. Karena kesempurnaannya, kerja hukum
ini tak dapat diganggu gugat, diubah atau dipaksa berubah. Sifatnya konstan dan
tidak berubah dari zaman ke zaman. Hukum ini hanya dapat ditaklukkan dengan
cara mengikuti alur kerjanya, diiringi dengan keikhlasan yang dalam.
Sang
buddha mengatakan bahwa segala hal yang ada di dunia ini saling terikat, saling
terkait, dan saling memengaruhi. Sebab akibat yang diajarkan Buddha bukan
sekadar satu arah, namun lebih kompleks bagaikan jaring laba-laba yang saling
terikat dan berpengaruh.
Getaran di
satu titik pada bagian jaring, akan memberikan dampak terhadap sekitarnya.
Tentunya, yang paling dekat yang menerima dampak yang lebih besar daripada
bagian jaring yang jauh. Sama seperti itu pula, setiap tindakan seseorang, akan
memengaruhi dan memberikan dampak terutama terhadap orang-orang serta
lingkungan sekitarnya. Inilah makna ajaran Buddha yang paling dalam dan khas,
“kesalingterkaitan antar segala sesuatu” (paticcasamupada).
Ajaran
Buddha juga tidak mengenal “diri” atau roh kekal pada diri seseorang. Sang
Buddha mengajarkan bahwa segala yang ada di dunia selalu mengalami perubahan, sehingga
tidak memerlukan suatu “diri” yang tetap. Ketidaktahuan dan kebodohan karena
tidak dapat menerima perubahan itulah yang dikatakan Buddha sebagai penderitaan
(dukkha).
Karena
tidak adanya “diri” yang tetap, Buddha mengajarkan bahwa lakukan hal-hal yang
baik demi diri sendiri maupun orang lain. Bukan hanya demi diri sendiri, namun
juga demi orang lain. Bukan pula hanya demi orang lain tanpa melatih diri
sendiri. Kebahagiaan orang lain sama dengan kebahagiaan diri sendiri.
Itulah
harapan Sang Buddha yang terus-menerus membagi ajaran dan cara-cara untuk
mendapatkan kebahagiaan sebenarnya, selama 45 tahun Beliau menyebarkan ajaran
(Darma) demi orang banyak.
Dengan
demikian, darma itulah kuncinya (keikhlasan). Jika tugas penyuntingan dimaknai
sebagai darma, maka satu-satunya pilihan adalah menjadikan sebuah karya itu
bagus, dengan semangat pengabdian. Itulah spirit seorang editor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar