Oleh
Wiyanto Suud
Tulisan ini dimuat di “Hikmah” Republika,
24 November 2009
Satu
teladan itu lebih efektif dari seribu nasihat. Dan, lisan perbuatan itu lebih
fasih daripada lisan perkataan. Satu contoh keteladanan dari Ali bin Abi Thalib
menunjukkan betapa keteladanan itu sangat efektif menciptakan pranata sosial
yang dicita-citakan Islam.
Syahdan,
pada suatu hari Aqil datang ke Ali bin Abi Thalib, ia menyambut gembira
kedatangan sang kakak. Ketika tiba waktu makan malam, Aqil tidak melihat
apa-apa di atas meja selain roti dan garam. Ia terkejut melihat kenyataan
tersebut karena kedatangannya untuk meminta bantuan kepada Ali demi menutupi
utangnya.
Ali
berkata, “Tunggu sebentar, aku akan ambilkan harta milikku.” Aqil mulai kesal
dan berkata, “Bukankah Baitul Mal ada di tanganmu? Mengapa engkau memberiku
dari harta milikmu sendiri?” Beliau menjawab, “Kalau kau mau, ambillah pedangmu
dan aku akan mengambil pedangku, lalu kita keluar bersama-sama menuju ke
kawasan Hairah yang di dalamnya terdapat pedagang-pedagang kaya, kita masuki
rumah salah seorang dari mereka dan kita ambil harta kekayaannya.”
Aqil
menolak dan berkata, “Memangnya aku datang untuk merampok!”. Ali pun menjawab,
“Mencuri harta kekayaan seorang dari mereka itu masih lebih baik daripada
engkau mencuri harta milik semua kaum Muslimin.” Demikianlah teladan
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Untuk
mencapai derajat yang tinggi dalam hal keteladanan, Allah SWT menganjurkan
kepada kita untuk selalu berdoa, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada
kami istri-istri dan keturunan yang menjadi penenang hati bagi kami, dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan [25]: 74)
Al-Qurthubi
mengatakan, jika seseorang memiliki istri yang terkumpul padanya sifat-sifat
terpuji, seperti pandai menjaga kesucian, lembut, taat kepada suami, atau
memiliki anak yang taat kepada Allah dan berbakti kepada kedua orang tuanya,
maka hatinya tidak akan tertarik lagi untuk melirik wanita atau anak orang
lain. Itulah yang disebut dengan "penenang hati", yang hanya bisa
dicapai apabila apa yang dimilikinya itu mendapat berkat dari Allah.
Adapun maksud
"imam bagi orang-orang yang bertakwa", yakni menjadi teladan bagi
mereka dalam hal kebaikan. Seseorang tidak akan bisa menjadi teladan yang baik
bagi orang lain kecuali ia telah berbuat baik kepada orang lain dan bertakwa
kepada Allah.
Relevansi
ketakwaan dan kepemimpinan di sini dijelaskan oleh Ibrahim an-Nakha'i, bahwa
orang Muslim yang bertakwa tidak berhasrat meminta kepemimpinan kepada Allah,
tetapi mengharap teladan yang baik dari-Nya. Karena dengan keteladanan,
kepemimpinan itu akan datang dengan sendirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar