Rabu, 14 November 2012

Berpikir Emansipatoris Ala Ibn Rusyd

Oleh Wiyanto Suud


Tulisan ini dimuat di Republika, Islam Digest, Kolom Kitab, 19 Juli 2009
Sebelum membicarakan problem-problem hukum Islam, Ibnu Rusyd memaparkan proses penerimaan hukum Islam, macam-macamnya dan sebab terjadinya perselisihan. Problem akan muncul, ketika kita mendapatkan sebuah perkara yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam nas, baik dalam Alquran, hadis, atau ijmak sahabat.
Bagaimana menentukan status hukum terhadap suatu benda atau perbuatan? Ibnu Rusyd memilih menggunakan metode analogi (qiyas), yakni mengeluarkan status hukum atas masalah baru (furu') yang dianalogikan dengan masalah lama (ashl), karena ada kesamaan illat (alasan) ataupun maqshad (maksud atau tujuan).Dalam menentukan status hukum, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa ada enam perkara pokok yang menjadi penyebab perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu:
Pertama, adanya perbedaan pemahaman fuqaha atas nas, apakah bersifat umum ('Am) atau khusus (khash), menunjukkan pengertian yang sama (mujmal) atau memungkinkan untuk dipahami dengan beberapa arti (muhtamal).
Kedua, adanya lafadz yang digunakan secara ganda. Di antaranya, lafadz dengan beberapa arti (isytirakatul lafdzi) yang menjadi landasan hukum, lam ta'rif (alif lam/al) yang dikaitkan dengan jenis hukum, serta makna dalam lafadz perintah (amr) dan larangan (nahy).
Ketiga, karena adanya perbedaan i'rab . Keempat, satu kata yang dapat dipahami secara hakiki, majazi, atau isti'arah . Kelima, penyebutan kata terikat (muqayyad) atau mutlak (muthlaq). Dan, keenam, pertentangan atau antagonisme (ta'arudl) antara dua sumber hukum, baik berupa perbuatan (af'al), perkataan (aqwal), atau persetujuan (iqrar) Rasul.
Seperti, contoh firman Allah dalam Alquran, “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu. (QS an-Nur [24]: 4-5).
Kata 'orang-orang yang bertobat sesudah itu', kembali pada kefasikan saja atau pada kefasikan dan persaksian secara bersamaan. Artinya, tobat itu bisa menghapus dosa karena fasik, dengan konsekuensi boleh menjadi saksi, walaupun sebelumnya menjadi penuduh zina pada orang lain (qadzif) atau tidak.
Menurut Malik dan Syafi'i, kesaksiannya dapat diterima, sedangkan menurut Abu Hanifah, kesaksiannya tidak diterima untuk selama-lamanya. Ibnu Rusyd setuju dengan pendapat yang pertama, karena ketika kefasikan telah hilang, seharusnyalah kesaksian itu bisa diterima.
Inilah keistimewaan gaya berpikir emansipatoris yang ditawarkan oleh Ibnu Rusyd. Yakni, dengan memadukan antara fikih dan ushul fikih dalam satu kitab sekaligus. Biasanya para ulama menulis fikih dan ushul fikih secara terpisah, seperti Syafi'i menulis ushul fikih dalam ar-Risalah, dan fikih dalam al-Um . Al-Ghazali menulis fikih dalam al-Mushthafa serta perpaduan antara fikih dan tasawuf dalam Ihya' Ulum ad-din.
Thaha Abdurrauf Sa'ad dalam pengantar tahqiq buku ini berani menyatakan bahwa mutu kitab Bidayah al-Mujtahid , baik secara metodologis maupun jangkauan kelengkapan pembahasan tidak tertandingi oleh karya lain dalam disiplin ilmu yang sama.
Hasan Hanafi dalam buku Dirasat Islamiyyah menyatakan, “Ibn Rusyd bukanlah orang yang teralienasi, melainkan ia adalah anak zaman kontemporer.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar