Tulisan ini dimuat di Republika, Islam Digest, Kolom Kitab, 19 Juli 2009
Sebelum
membicarakan problem-problem hukum Islam, Ibnu Rusyd memaparkan proses
penerimaan hukum Islam, macam-macamnya dan sebab terjadinya perselisihan.
Problem akan muncul, ketika kita mendapatkan sebuah perkara yang tidak ada
ketentuan hukumnya dalam nas, baik dalam Alquran, hadis, atau ijmak sahabat.
Bagaimana
menentukan status hukum terhadap suatu benda atau perbuatan? Ibnu Rusyd memilih
menggunakan metode analogi (qiyas), yakni mengeluarkan status hukum atas
masalah baru (furu') yang dianalogikan dengan masalah lama (ashl),
karena ada kesamaan illat (alasan) ataupun maqshad (maksud atau
tujuan).Dalam menentukan status hukum, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa ada enam
perkara pokok yang menjadi penyebab perbedaan pendapat di kalangan ulama,
yaitu:
Pertama,
adanya perbedaan pemahaman fuqaha atas nas, apakah bersifat umum ('Am)
atau khusus (khash), menunjukkan pengertian yang sama (mujmal)
atau memungkinkan untuk dipahami dengan beberapa arti (muhtamal).
Kedua,
adanya lafadz yang digunakan secara ganda. Di antaranya, lafadz dengan beberapa
arti (isytirakatul lafdzi) yang menjadi landasan hukum, lam ta'rif (alif
lam/al) yang dikaitkan dengan jenis hukum, serta makna dalam lafadz perintah (amr)
dan larangan (nahy).
Ketiga,
karena adanya perbedaan i'rab . Keempat, satu kata yang dapat dipahami secara
hakiki, majazi, atau isti'arah . Kelima, penyebutan kata terikat (muqayyad)
atau mutlak (muthlaq). Dan, keenam, pertentangan atau antagonisme (ta'arudl)
antara dua sumber hukum, baik berupa perbuatan (af'al), perkataan (aqwal),
atau persetujuan (iqrar) Rasul.
Seperti,
contoh firman Allah dalam Alquran, “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang
yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu. (QS an-Nur [24]:
4-5).
Kata
'orang-orang yang bertobat sesudah itu', kembali pada kefasikan saja atau pada
kefasikan dan persaksian secara bersamaan. Artinya, tobat itu bisa menghapus
dosa karena fasik, dengan konsekuensi boleh menjadi saksi, walaupun sebelumnya
menjadi penuduh zina pada orang lain (qadzif) atau tidak.
Menurut
Malik dan Syafi'i, kesaksiannya dapat diterima, sedangkan menurut Abu Hanifah,
kesaksiannya tidak diterima untuk selama-lamanya. Ibnu Rusyd setuju dengan
pendapat yang pertama, karena ketika kefasikan telah hilang, seharusnyalah
kesaksian itu bisa diterima.
Inilah
keistimewaan gaya berpikir emansipatoris yang ditawarkan oleh Ibnu Rusyd.
Yakni, dengan memadukan antara fikih dan ushul fikih dalam satu kitab sekaligus.
Biasanya para ulama menulis fikih dan ushul fikih secara terpisah, seperti
Syafi'i menulis ushul fikih dalam ar-Risalah, dan fikih dalam al-Um .
Al-Ghazali menulis fikih dalam al-Mushthafa serta perpaduan antara fikih dan
tasawuf dalam Ihya' Ulum ad-din.
Thaha
Abdurrauf Sa'ad dalam pengantar tahqiq buku ini berani menyatakan bahwa mutu
kitab Bidayah al-Mujtahid , baik secara metodologis maupun jangkauan
kelengkapan pembahasan tidak tertandingi oleh karya lain dalam disiplin ilmu
yang sama.
Hasan
Hanafi dalam buku Dirasat Islamiyyah menyatakan, “Ibn Rusyd bukanlah orang yang
teralienasi, melainkan ia adalah anak zaman kontemporer.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar