Oleh Wiyanto Suud
Kebenaran adalah Tuhan (Mahatma Gandhi)
Berita tentang kelahiran, pernikahan, dan kematian selalu menjadi kabar
yang menyerap perhatian, meskipun hal itu perkara lumrah dan terjadi
berulang-ulang. Kelahiran menjadi musim memetik hasil panen dari rahim kasih
sayang ibu. Pernikahan merupakan momen bercocok tanam, menabur benih,
menyiangi, jauh dalam naluri keibuan. Dan kematian sebagai periode kembali ke
selangkang ibu pertiwi.
Bisa jadi peradaban umat manusia adalah peradaban selangkang. Sehingga
jangan heran, setiap berita, cerita, dan tragedi seputar selangkang menjadi bahan
yang selalu menarik dibicarakan, diperdebatkan, dikambinghitamkan, bahkan
dinikmati sekaligus.
Ada seorang sahabat bertanya tentang pornografi untuk dijadikan judul
skripsi. Aku tidak rekomendasi, karena UU Pornografi masih kontroversi. Gak ada
rujukan yang kuat, pada ujungnya hanya berkutat debat kusir tentang definisi.
Definisi tentang eksploitasi terhadap selangkang.
Ada seorang kawan bertanya tentang pernikahan Syaikh Puji. Aku jawab
normatif aja, ya... kalau menurut hukum positif sih gak boleh, karena batas
umur minimal 16 tahun. Sedangkan agama membolehkan karena ukurannya hanya akil
balig. Lalu ia bertanya mana yang benar, aku katakan benar dua-duanya. Dia
malah tambah bingung. Ehm... lagi-lagi selangkang.
Komnas HAM dan perlindungan anak, mendesak Syaikh Puji untuk membatalkan
pernikahannya, karena tindakannya melanggar Undang-Undang, dan sudah
dikategorikan tindakan kriminalitas. Bagi mereka yang pro dengan Komnas HAM
menganggap bahwa umur 12 tahun adalah masa bermain bagi anak-anak, tidak layak
untuk masuk kehidupan orang dewasa. Memang bisa dimaklumi, mainnya orang dewasa
itu lebih berbahaya daripada permainan anak-anak. Permainan orang dewasa bisa
berdampak destruktif, dan anak-anak hanya sekedar onani, untuk kepuasan diri.
Ada rekan di kantor curiga, jangan-jangan Syaikh Puji seorang pedofilis,
yang bersembunyi di balik kedok doktrin teologi. Bagi dia seorang yang
berpegang teguh dengan tali agama secara kaku adalah orang yang sakit
(patologi). Hidup dalam doktrinal, tidak luwes, layaknya mesin atau robot. Bagi
dia Syaikh Puji adalah salah satunya.
Baik yang pro maupun kontra dengan isu ini, sebenarnya mempunyai logika
yang sama, melihat fenomena sosial oposisional. Hitam putih, benar salah, baik
buruk, tepat keliru, bukannya sebagai darma dalam hirup. Bukankah etika, moral,
atau nilai (value), hanya karya cipta, rasa, dan karsa manusia, kalau tidak
boleh di bilang akal-akalan manusia.
Sedangkan orang yang menjalankan darma, layak mendapat surga-Nya. menjalan
hidup yang ia lalui sebagai takdir ilahi. Bukannya justifikasi atau menghakimi.
Kebenaran (baca Interpretasi kebenaran) ada di mana-mana menuju kebenaran-Nya.
Karena kebenaran adalah Tuhan. Ia sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat
nadi. Dan kebenaran-Nya bisa kita dapatkan dari kedut nadi selangkang kita.
Atau kita mau mengambil alih kebenaran atas-Nya.
Jakarta, 3
November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar