Tulisan ini dimuat
di Prokon Aktivis Jawa Pos, 8 Oktober 2004
Narkoba
atau Khamer dalam ajaran agama Islam, mengalami proses yang cukup panjang dalam
sejarah penetapan hukumnya. Karena mabuk itu sendiri sudah menjadi bagian dari
tradisi orang Arab jahiliyah ketika itu. Untuk kali pertama sahabat bertanya
kepada Rasulullah tentang Khamer, terjawab dengan turunnya surat Al-Baqarah
ayat 219, yang menyatakan bahwa khamer itu merupakan dosa besar dan ada
manfaatnya bagi manusia.
Dan
ternyata, orang yang mengimami Salat, sedang ia dalam keadaan mabuk, sungguh
mengacaukan bacaan Alquran. Oleh karena itu, turunlah surat An-Nisa’ ayat 43,
yang berisi larang untuk mendekati Salat bagi siapa saja yang sedang mabuk,
sampai mereka menyadari apa yang mereka katakan.
Dan hukum
khamer ini sendiri ditutup dan ditetapkan dengan turunnya surat Al-Mai’dah ayat
90, yang mengatakan bahwa khamer merupakan bagian dari pekerjaan setan sehingga
haram bagi kaum muslimin untuk mengonsumsinya.
Kalau
memang Islam menetapkan khamer itu haram, maka Islam juga menentukan sanksi
bagi siapa yang melanggar ketetapan tersebut. Pada zaman Rasulullah, Beliau
menetapkan hukuman 40 kali cambukan bagi orang yang meminum khamer.
Kemudian
Umar bin Khatthab, Khalifah kedua sesudah Abu Bakar Ash-Shiddiq, mengeluarkan
fatwa hukuman 80 kali cambukan bagi peminum khamer. Kenapa beliau mengeluarkan
fatwa itu? Ternyata, dengan hukuman 40 kali cambukan belum memberikan efek jera
bagi sang pelaku.
Pada saat
ini, peredaran dan penggunaan NAPZA (Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif)
ternyata menjadi sebuah masalah yang mengglobal, sehingga efek yang ditimbulkan
merupakan fenomena yang berskala global juga.
Berapa
banyak kasus yang sering kita lihat, baca, dan dengarkan di berbagai media,
baik cetak maupun elektronik, tentang kematian yang disebabkan oleh kelebihan
dosis pemakaian obat terlarang, kasus pencurian untuk membeli ganja dan lain
sebagainya. Sehingga kebutuhan akan ketetapan atau fatwa baru tentang hukuman
bagi para produsen, pengedar, pengguna, dan penyimpan barang terlarang tersebut
menjadi begitu urgen.
Ada
beberapa langkah yang bisa kita lakukan. Pertama, menentukan hukuman mati bagi
produsen, pengedar, dan bandar narkoba. Karena eksekusi merupakan jaminan kehidupan
bagi manusia yang lain. Menjadi jaminan karena hukuman tersebut akan membuat
pelakunya untuk berpikir dua kali sebelum melakukan tindak kejahatan, dan
hukuman mati itu dapat melenyapkan kejahatan pembunuhan apapun bentuk dan
caranya.
Kedua,
masalah keadilan. Berapa banyak korban jiwa karena kelebihan dosis, memberikan
penyiksaan dengan sikap ketergantungan terhadap obat, maka layakkah bagi dia
kalau hanya dihukum satu atau dua tahun. Seharusnya bagi orang yang membunuh
harusnya menuai hal yang sama, itu baru dikatakan adil. Atau kalau memang tidak
hukuman mati, bisakah kita mencari hal atau hukuman yang seimbang dan setara
dengan efek yang ditimbulkan oleh peredaran barang terlarang tersebut.
Ketiga,
hukuman mati pada hakikatnya memanusiakan manusia. Efek peredaran narkoba sudah
kian mengglobal, maka hal apakah yang bisa menghentikan dan memutuskan jaringan
mereka, maka satu jawaban yang tepat adalah pemerintahan resmi di suatu negara.
Karena
pemerintah mempunyai hak yang legal dan formal untuk bisa melakukan tindakan
memaksa bagi warga dan orang yang sedang berada di negaranya. Hal inilah yang
bisa melindungi hajat hidup mayoritas warga. Tentunya hal ini lebih manusiawi
(harusnya) ketimbang kita memikirkan kekejian terhadap tersangka dari hukuman mati
tersebut. Dalam level jaringan inilah hukum harus bertindak.
Hukuman
mati merupakan sebuah solusi untuk penanganan kasus yang berkaitan dengan
narkoba. Dalam Alquran disebutkan bahwa di balik hukuman qishas itu ada
kehidupan bagi orang yang berakal.
Sudah
jelaslah bahaya yang disebabkan oleh narkoba, masihkah kita berpikir dua kali
untuk menetapkan hukuman mati bagi yang melakukan tindak kejahatan yang
berkaitan dengannya (tentunya dengan kriteria dan bukti yang jelas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar