Dimuat
di Republika, Islam Digest, Kolom Kitab, 19 Juli 2009
Dalam
setiap pembahasan, Ibnu Rusyd selalu mengemukakan objek masalah dengan gaya
pernyataan. Kemudian, ia jawab dengan mengemukakan pendapat jumhur ulama,
lengkap dengan argumentasinya.
Kitab Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid ditulis oleh Ibnu Rusyd, sebuah karya
klasik paling komprehensif dan sistematis dalam kajian perbandingan mazhab
fikih. Bidayah al-Mujtahid merupakan rujukan awal bagi seseorang yang
mulai belajar berijtihad (menggali sumber hukum), dan Nihayah (akhir) bagi
seseorang yang mencukupkan dirinya dengan pengetahuan tentang dasar-dasar hukum
Islam. Dengan mempelajari kitab ini, seseorang diharapkan mampu berijtihad atas
masalah-masalah yang belum ada ketetapan hukumnya, ataupun masalah fikih klasik
yang harus disesuaikan ketetapan hukumnya dengan tuntutan zaman.
Hampir
setiap aliran atau mazhab fikih mempunyai tokoh yang menulis perbandingan
mazhab fikih (muqarin). Tujuan akhirnya jelas, untuk memenangkan mazhab
yang didukungnya. Seperti, Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w 189 H) dengan
al-Hujjah 'ala Ahl al-Madinah dari mazhab Hanafi, Ibn Qudama (w 620 H) dengan
al-Mughni dari mazhab Hambali, Nawawi (w 676 H) dengan al-Majmu' dari mazhab
Syafi'i, Abu Ja'far Muhammad al-Thusi (460 H) dengan al-Khilaf fi al-Ahkam dari
mazhab Syiah Imamiyah, dan Ibnu Rusyd dengan Bidayah al-Mujtahid dari mazhab
Maliki.
Dalam
setiap pembahasan, Ibnu Rusyd selalu mengemukakan objek masalah dengan gaya
pernyataan. Kemudian, ia jawab dengan mengemukakan pendapat jumhur ulama,
lengkap dengan argumentasinya. Kadang ia mengunggulkan pendapat suatu mazhab
atas mazhab yang lain (qaul ar-rajih). Bahkan, tak jarang, Ibn Rusyd
mengungkapkan pendapatnya sendiri tentang suatu masalah, setelah menunjukkan
kelemahan argumentasi masing-masing mazhab yang ia diskusikan.
Ungkapan
yang sering ia gunakan untuk menunjukkan kesepakatan ulama, di antaranya,
menurut 'kesepakatan umumnya' (ittafaqa an-nas), 'kesepakatan kelompok' (ittafaqa
al-qaum), 'kesepakatan mayoritas ulama' (ittafaqa jumhur), dan
'kesepakatan fuqaha' (ittafaqa fuqaha).
Ibnu
Rusyd--dalam kitab ini--berusaha untuk mengintegrasikan antara kecenderungan
tekstual dan kecenderungan kontekstual. Hal ini bisa dimaklumi, karena pertama,
Ibnu Rusyd hidup di tengah-tengah keluarga dan masyarakat pengikut mazhab
Maliki, yang inti doktrin teori hukumnya adalah rasio harus diperhatikan untuk
mempertimbangkan kemaslahatan (al-Mashalih al-Mursalah).
Kedua,
pemikiran Ibnu Rusyd melintasi mazhab-mazhab fikih yang sedang berkembang,
karena pengaruh filsafat dan kedokteran yang ditekuninya, dan cenderung
mengedepankan penggunaan penalaran (rasional-empiris).
Melihat
cakupan fikih perbandingan yang ada dalam kitab ini, tampak jelas bahwa Ibnu
Rusyd hanya berkonsentrasi pada aliran-aliran fikih yang berkembang di kalangan
komunitas Sunni. Ia juga tidak memberi porsi yang cukup signifikan terhadap
pendapat Ahmad bin Hanbal, mengingat kecenderungan mazhab Hanbali yang sangat
ketat terikat pada hadis, dan kurang memberi porsi yang longgar pada nalar.
Objektif
dalam Sikap
Secara
kultural, Ibnu Rusyd hidup dalam lingkungan yang terikat dengan mazhab Maliki,
ayah dan kakeknya seorang faqih bermazhab Maliki, dan ia juga seorang hakim
Agung (qadhi qudhat) bermazhab Maliki. Tapi, dalam beberapa hal, ia
menentang mazhabnya sendiri dan mengikuti pendapat Syafi'i dan Hanafi. Ini
menunjukkan bahwa Ibnu Rusyd kritis menilai, objektif memandang, dan jauh dari
sikap fanatik. Di antara contohnya sebagai berikut.
Pertama,
tentang sperma yang menempel pada baju, apakah najis atau tidak? Ibnu Rusyd
cenderung pada pendapat yang menyatakan najis. Pendapat ini dikemukakan oleh
Abu Hanifah, berdasarkan pada 'pengerokan' sperma yang dilakukan oleh Aisyah
pada baju Rasulullah, itu sama kedudukannya dengan penyucian menggunakan air,
yang juga menunjukkan bahwa sperma itu najis (Kitab Thaharah dari Najis, Bab
Macam-macam Najis, Fasal Sperma).
Kedua,
dalam masalah waktu qadha shalat karena lalai, menurut Malik cara qadha -nya
wajib tertib sesuai dengan urutan shalat yang ditinggalkan. Sedang menurut
Syafi'i dan Hanafi, tertib itu tidak wajib, dalam arti seseorang boleh
mengerjakan shalat yang harus dilakukan pada waktunya, sedangkan shalat yang
akan di- qadha dikerjakan kemudian. Tetapi, jika ia akan melaksanakan qadha
lebih dahulu, asalkan waktu shalat masih mencukupi, menurut Syafi'i dan Hanafi,
itu lebih baik. Dan, Ibnu Rusyd mendukung pendapat kedua imam ini (Kitab
Shalat, Bab Shalat yang Bukan Ada', dalam Fasal Qadha).
Ketiga,
dalam masalah menyewa kendaraan yang melampaui batas kesepakatan, Ibnu Rusyd
cenderung mendukung pendapat Syafi'i yang mewajibkan penyewa menambah ongkos.
Ia melemahkan pendapat Malik, yang menyatakan pemilik kendaraan boleh memilih
untuk meminta tambahan ongkos sewa atau penyewa harus menanggung kerusakan
kendaraan, jika kerusakan itu terjadi dalam jarak pelanggaran.
Dan, Ibnu
Rusyd menganggap pendapat Abu Hanifah yang menyatakan penyewa tidak
berkewajiban untuk menambah ongkos sewa, sebagai pendapat yang jauh dari esensi
ajaran syariat. Menurutnya, dalam masalah ini, pendapat Syafi'i lebih dekat
pada kebenaran yang dikehendaki oleh syariat (Kitab Sewa Menyewa, Bab Hukum
Sewa Menyewa, dalam Fasal Sebab-sebab Adanya Tanggungan Menyewakan Barang).
Kitab ini
ditulis, ketika pilar-pilar mazhab fikih dan ilmu-ilmu keislaman yang lain
sudah terkodifikasi secara mapan. Kenyataan ini berimbas pada kreasi
intelektual umat menjadi jumud dan terhenti. Padahal, perkembangan sosial dan
tantangan zaman berjalan begitu cepat. Kondisi inilah yang mendorong Ibnu Rusyd
mencari terobosan 'ijtihad baru' dengan cara menyeleksi (al-intiqa)
pendapat mazhab yang berkembang pada saat itu, kemudian melacak argumen
masing-masing fuqaha dan memberikan beberapa catatan (anotasi).
Kitab ini
menjadi penting, karena pertama, membuka pemikiran kita tentang berbagai
argumentasi dan ketetapan hukum yang diperselisihkan, sekaligus berbagai
pendekatan penggalian hukum masing-masing mazhab. Dengan demikian, kita bisa
keluar dari sikap taqlid buta dan akan timbul sikap saling menghargai.
Kedua,
untuk mendorong memunculkan karya yang berintegrasi serupa, di tengah-tengah
peradaban sekuler yang mendominasi dunia, yang sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist)
dan menjawab segala problematika yang ada (kontekstual).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar