Rabu, 14 November 2012

Bidayah al-Mujtahid Menggagas Fikih Mazhab Kritis

Oleh Wiyanto Suud
Dimuat di Republika, Islam Digest, Kolom Kitab, 19 Juli 2009 
Dalam setiap pembahasan, Ibnu Rusyd selalu mengemukakan objek masalah dengan gaya pernyataan. Kemudian, ia jawab dengan mengemukakan pendapat jumhur ulama, lengkap dengan argumentasinya.
Kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid ditulis oleh Ibnu Rusyd, sebuah karya klasik paling komprehensif dan sistematis dalam kajian perbandingan mazhab fikih. Bidayah al-Mujtahid merupakan rujukan awal bagi seseorang yang mulai belajar berijtihad (menggali sumber hukum), dan Nihayah (akhir) bagi seseorang yang mencukupkan dirinya dengan pengetahuan tentang dasar-dasar hukum Islam. Dengan mempelajari kitab ini, seseorang diharapkan mampu berijtihad atas masalah-masalah yang belum ada ketetapan hukumnya, ataupun masalah fikih klasik yang harus disesuaikan ketetapan hukumnya dengan tuntutan zaman.
Hampir setiap aliran atau mazhab fikih mempunyai tokoh yang menulis perbandingan mazhab fikih (muqarin). Tujuan akhirnya jelas, untuk memenangkan mazhab yang didukungnya. Seperti, Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w 189 H) dengan al-Hujjah 'ala Ahl al-Madinah dari mazhab Hanafi, Ibn Qudama (w 620 H) dengan al-Mughni dari mazhab Hambali, Nawawi (w 676 H) dengan al-Majmu' dari mazhab Syafi'i, Abu Ja'far Muhammad al-Thusi (460 H) dengan al-Khilaf fi al-Ahkam dari mazhab Syiah Imamiyah, dan Ibnu Rusyd dengan Bidayah al-Mujtahid dari mazhab Maliki.
Dalam setiap pembahasan, Ibnu Rusyd selalu mengemukakan objek masalah dengan gaya pernyataan. Kemudian, ia jawab dengan mengemukakan pendapat jumhur ulama, lengkap dengan argumentasinya. Kadang ia mengunggulkan pendapat suatu mazhab atas mazhab yang lain (qaul ar-rajih). Bahkan, tak jarang, Ibn Rusyd mengungkapkan pendapatnya sendiri tentang suatu masalah, setelah menunjukkan kelemahan argumentasi masing-masing mazhab yang ia diskusikan.
Ungkapan yang sering ia gunakan untuk menunjukkan kesepakatan ulama, di antaranya, menurut 'kesepakatan umumnya' (ittafaqa an-nas), 'kesepakatan kelompok' (ittafaqa al-qaum), 'kesepakatan mayoritas ulama' (ittafaqa jumhur), dan 'kesepakatan fuqaha' (ittafaqa fuqaha).
Ibnu Rusyd--dalam kitab ini--berusaha untuk mengintegrasikan antara kecenderungan tekstual dan kecenderungan kontekstual. Hal ini bisa dimaklumi, karena pertama, Ibnu Rusyd hidup di tengah-tengah keluarga dan masyarakat pengikut mazhab Maliki, yang inti doktrin teori hukumnya adalah rasio harus diperhatikan untuk mempertimbangkan kemaslahatan (al-Mashalih al-Mursalah).
Kedua, pemikiran Ibnu Rusyd melintasi mazhab-mazhab fikih yang sedang berkembang, karena pengaruh filsafat dan kedokteran yang ditekuninya, dan cenderung mengedepankan penggunaan penalaran (rasional-empiris).
Melihat cakupan fikih perbandingan yang ada dalam kitab ini, tampak jelas bahwa Ibnu Rusyd hanya berkonsentrasi pada aliran-aliran fikih yang berkembang di kalangan komunitas Sunni. Ia juga tidak memberi porsi yang cukup signifikan terhadap pendapat Ahmad bin Hanbal, mengingat kecenderungan mazhab Hanbali yang sangat ketat terikat pada hadis, dan kurang memberi porsi yang longgar pada nalar.
Objektif dalam Sikap
Secara kultural, Ibnu Rusyd hidup dalam lingkungan yang terikat dengan mazhab Maliki, ayah dan kakeknya seorang faqih bermazhab Maliki, dan ia juga seorang hakim Agung (qadhi qudhat) bermazhab Maliki. Tapi, dalam beberapa hal, ia menentang mazhabnya sendiri dan mengikuti pendapat Syafi'i dan Hanafi. Ini menunjukkan bahwa Ibnu Rusyd kritis menilai, objektif memandang, dan jauh dari sikap fanatik. Di antara contohnya sebagai berikut.
Pertama, tentang sperma yang menempel pada baju, apakah najis atau tidak? Ibnu Rusyd cenderung pada pendapat yang menyatakan najis. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah, berdasarkan pada 'pengerokan' sperma yang dilakukan oleh Aisyah pada baju Rasulullah, itu sama kedudukannya dengan penyucian menggunakan air, yang juga menunjukkan bahwa sperma itu najis (Kitab Thaharah dari Najis, Bab Macam-macam Najis, Fasal Sperma).
Kedua, dalam masalah waktu qadha shalat karena lalai, menurut Malik cara qadha -nya wajib tertib sesuai dengan urutan shalat yang ditinggalkan. Sedang menurut Syafi'i dan Hanafi, tertib itu tidak wajib, dalam arti seseorang boleh mengerjakan shalat yang harus dilakukan pada waktunya, sedangkan shalat yang akan di- qadha dikerjakan kemudian. Tetapi, jika ia akan melaksanakan qadha lebih dahulu, asalkan waktu shalat masih mencukupi, menurut Syafi'i dan Hanafi, itu lebih baik. Dan, Ibnu Rusyd mendukung pendapat kedua imam ini (Kitab Shalat, Bab Shalat yang Bukan Ada', dalam Fasal Qadha).
Ketiga, dalam masalah menyewa kendaraan yang melampaui batas kesepakatan, Ibnu Rusyd cenderung mendukung pendapat Syafi'i yang mewajibkan penyewa menambah ongkos. Ia melemahkan pendapat Malik, yang menyatakan pemilik kendaraan boleh memilih untuk meminta tambahan ongkos sewa atau penyewa harus menanggung kerusakan kendaraan, jika kerusakan itu terjadi dalam jarak pelanggaran.
Dan, Ibnu Rusyd menganggap pendapat Abu Hanifah yang menyatakan penyewa tidak berkewajiban untuk menambah ongkos sewa, sebagai pendapat yang jauh dari esensi ajaran syariat. Menurutnya, dalam masalah ini, pendapat Syafi'i lebih dekat pada kebenaran yang dikehendaki oleh syariat (Kitab Sewa Menyewa, Bab Hukum Sewa Menyewa, dalam Fasal Sebab-sebab Adanya Tanggungan Menyewakan Barang).
Kitab ini ditulis, ketika pilar-pilar mazhab fikih dan ilmu-ilmu keislaman yang lain sudah terkodifikasi secara mapan. Kenyataan ini berimbas pada kreasi intelektual umat menjadi jumud dan terhenti. Padahal, perkembangan sosial dan tantangan zaman berjalan begitu cepat. Kondisi inilah yang mendorong Ibnu Rusyd mencari terobosan 'ijtihad baru' dengan cara menyeleksi (al-intiqa) pendapat mazhab yang berkembang pada saat itu, kemudian melacak argumen masing-masing fuqaha dan memberikan beberapa catatan (anotasi).
Kitab ini menjadi penting, karena pertama, membuka pemikiran kita tentang berbagai argumentasi dan ketetapan hukum yang diperselisihkan, sekaligus berbagai pendekatan penggalian hukum masing-masing mazhab. Dengan demikian, kita bisa keluar dari sikap taqlid buta dan akan timbul sikap saling menghargai.
Kedua, untuk mendorong memunculkan karya yang berintegrasi serupa, di tengah-tengah peradaban sekuler yang mendominasi dunia, yang sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist) dan menjawab segala problematika yang ada (kontekstual).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar