Oleh Wiyanto Suud
Stratifikasi kasta yang terbawa sampai mati.
Aku sangat beruntung mempunyai kesempatan untuk mengunjungi sekaligus menziarahi
pemakaman alam Gua Londa di Tana Toraja, sekitar pertengahan tahun 2001
beberapa waktu yang lalu. Berpetualang untuk menghilangkan kepenatan setelah
selama catur wulan (cawu) bergelut dengan siswa-siswiku
Gua Londa terletak di desa Sandan Uai, Sanggalangi, berjarak sekitar 7 km
ke arah selatan kota Rantepao, ibu kota Kabupaten Tana Toraja. Kota yang
terakhir ini gagal aku kunjungi, dan aku masih merindukan untuk bisa ke sana
suatu saat nanti, dengan orang yang ku kasihi.
Sebelum memasuki gua, aku menemukan puluhan replikasi patung orang yang
dikuburkan di dalam gua. Penduduk pribumi menyebutnya dengan tau-tau..
Kompleks pemakaman ini diperkirakan telah berumur ratusan tahun. Di dalamnya
terdapat puluhan peti jenazah yang menyimpan jasad para tokoh dan bangsawan
setempat. Seorang guide yang bersamaku menyebutnya dengan erong.
Keturunan bangsawan peti mayatnya diletakkan pada posisi lebih tinggi.
Semakin tinggi peti matinya berarti semakin tinggi pula derajatnya. Posisi peti
ini ada yang menyuruk ke dalam bagian gua yang gelap atau terselip di celah
dinding gua yang terjal. Ternyata stratifikasi kasta pun bisa juga dibawa
sampai mati.
Aku jadi teringat dengan seorang Guru Zen Hakuin dari Jepang. Ia hidup bertetangga
dengan keluarga yang mempunyai usaha rumah makan. Tiba-tiba, tanpa dikabarkan
sebelumnya, orang tua gadis tersebut mengetahui kalau anaknya hamil di luar
nikah.
Kejadian ini membuat orang tua gadis marah. Sedangkan anak perempuannya
tidak mau mengakui siapa yang menghamilinya. Sang gadis pun dipaksa untuk
mengakui siapa ayah dari jabang bayi dalam kandungannya. Akhirnya ia
menyebutkan nama Guru Zen Hakuin.
Dengan kesumat orang tua gadis menemui sang Guru. “Apakah memang demikian?”
jawaban pendek sang Guru. Kejadian ini mencemarkan nama baik sang Guru, yang
sudah lama menjalankan kehidupan suci.
Setelah gadis itu melahirkan, anaknya diserahkan pada Guru Hakuin. Sang
Guru yang kehilangan nama baik, tidak menggusarkannya. Ia pun merawat bayi itu
dengan selayaknya. Ia membelikan susu dan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh
si kecil.
Satu tahun kemudian, si gadis sudah tidak tahan lagi. Ia memberitahukan
kepada Ayah dan Ibunya bahwa yang menghamilinya sebenarnya adalah seorang pria
yang bekerja di pasar ikan.
Ayah dan Ibu gadis itu dengan segera menemui Guru Zen Hakuin, memohon maaf
yang sebesar-besarnya, kemudian memungut kembali bayi yang telah diserahkan
kepadanya. Guru Hakuin pun rela memberikannya. Ketika menyerahkan anak
tersebut, ia hanya mengucapkan “Apakah memang demikian?”
Kisah ini aku dapatkan dalam buku Daging Zen Tulang Zen, dikumpulkan
oleh Pual Reps di tahun 1996, diterbitkan oleh Yayasan Penerbit Karaniya.
Aku jadi gak habis pikir, kenapa pangkat, derajat, kedudukan, atau kasta
masih bisa pula dibawa sampai mati. Semakin tinggi peti mati ditempatkan,
berarti semakin tinggi pula derajat Kebangsawanannya. “Apakah memang demikian?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar