Rabu, 14 November 2012

Ziarah ke Gua Londa

Oleh Wiyanto Suud
Stratifikasi kasta yang terbawa sampai mati.
Aku sangat beruntung mempunyai kesempatan untuk mengunjungi sekaligus menziarahi pemakaman alam Gua Londa di Tana Toraja, sekitar pertengahan tahun 2001 beberapa waktu yang lalu. Berpetualang untuk menghilangkan kepenatan setelah selama catur wulan (cawu) bergelut dengan siswa-siswiku
Gua Londa terletak di desa Sandan Uai, Sanggalangi, berjarak sekitar 7 km ke arah selatan kota Rantepao, ibu kota Kabupaten Tana Toraja. Kota yang terakhir ini gagal aku kunjungi, dan aku masih merindukan untuk bisa ke sana suatu saat nanti, dengan orang yang ku kasihi.
Sebelum memasuki gua, aku menemukan puluhan replikasi patung orang yang dikuburkan di dalam gua. Penduduk pribumi menyebutnya dengan tau-tau.. Kompleks pemakaman ini diperkirakan telah berumur ratusan tahun. Di dalamnya terdapat puluhan peti jenazah yang menyimpan jasad para tokoh dan bangsawan setempat. Seorang guide yang bersamaku menyebutnya dengan erong.
Keturunan bangsawan peti mayatnya diletakkan pada posisi lebih tinggi. Semakin tinggi peti matinya berarti semakin tinggi pula derajatnya. Posisi peti ini ada yang menyuruk ke dalam bagian gua yang gelap atau terselip di celah dinding gua yang terjal. Ternyata stratifikasi kasta pun bisa juga dibawa sampai mati.
Aku jadi teringat dengan seorang Guru Zen Hakuin dari Jepang. Ia hidup bertetangga dengan keluarga yang mempunyai usaha rumah makan. Tiba-tiba, tanpa dikabarkan sebelumnya, orang tua gadis tersebut mengetahui kalau anaknya hamil di luar nikah.
Kejadian ini membuat orang tua gadis marah. Sedangkan anak perempuannya tidak mau mengakui siapa yang menghamilinya. Sang gadis pun dipaksa untuk mengakui siapa ayah dari jabang bayi dalam kandungannya. Akhirnya ia menyebutkan nama Guru Zen Hakuin.
Dengan kesumat orang tua gadis menemui sang Guru. “Apakah memang demikian?” jawaban pendek sang Guru. Kejadian ini mencemarkan nama baik sang Guru, yang sudah lama menjalankan kehidupan suci.
Setelah gadis itu melahirkan, anaknya diserahkan pada Guru Hakuin. Sang Guru yang kehilangan nama baik, tidak menggusarkannya. Ia pun merawat bayi itu dengan selayaknya. Ia membelikan susu dan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh si kecil.
Satu tahun kemudian, si gadis sudah tidak tahan lagi. Ia memberitahukan kepada Ayah dan Ibunya bahwa yang menghamilinya sebenarnya adalah seorang pria yang bekerja di pasar ikan.
Ayah dan Ibu gadis itu dengan segera menemui Guru Zen Hakuin, memohon maaf yang sebesar-besarnya, kemudian memungut kembali bayi yang telah diserahkan kepadanya. Guru Hakuin pun rela memberikannya. Ketika menyerahkan anak tersebut, ia hanya mengucapkan “Apakah memang demikian?”
Kisah ini aku dapatkan dalam buku Daging Zen Tulang Zen, dikumpulkan oleh Pual Reps di tahun 1996, diterbitkan oleh Yayasan Penerbit Karaniya.
Aku jadi gak habis pikir, kenapa pangkat, derajat, kedudukan, atau kasta masih bisa pula dibawa sampai mati. Semakin tinggi peti mati ditempatkan, berarti semakin tinggi pula derajat Kebangsawanannya. “Apakah memang demikian?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar