Tradisi kyai dan
pondoknya tidak akan dapat dipisahkan dengan keikhlasan. Keikhlasan dalam
segala usaha dan tujuan dengan pengertian yang sedalam dan seluas-luasnya.
Hubungan ikhlas dan usaha itu bagaikan hubungan jiwa dan raga, bagai kulit
dengan daging. Inilah mutiara indah dan mahal yang dimiliki oleh insan,
terutama yang bermaksud untuk menegakkan kalimat Allah dari masa ke masa.
Mutiara ini harus digali,
dimiliki kembali untuk menghias dan mengisi kekosongan pemimpin dewasa ini.
Ikhlas merupakan ajaran para nabi, dicontohkan para syuhada, dan diamalkan para
saleh. Ia telah diwarisi para sahabat, tabiin, mujahidin dan ulama. Mereka
telah mencapai masa gemilang membangun umat. Demikian pula para kyai dengan
pondok.
Seorang kyai dengan penuh
keikhlasan mencurahkan segala ilmu yang ada di dalam dadanya kepada santri dan
umat yang membutuhkan. Ikhlas dalam menyampaikan amanat kepada segenap umatnya.
Bagi mereka, tidak ada satu pilihan pun untuk menunaikan kewajibannya selain
ridha Allah semata. Mereka adalah kyai yang sederhana di masa dahulu.
Adakah ia menginginkan
harta dengan pondok yang dirintisnya? Jangankan mengingin dan mengharap tambah
harta dari pondoknya, malahan harta yang ada pada mereka dikorbankan untuk
memupuk dan menyuburkan pondoknya.
Bukankah sering kita
jumpai bahwa dalam pondok-pondok, surau-surau atau pesantren-pesantren ada
puluhan bahkan ratusan santri yang makan dan minumnya dibiayai kyai. Adakah ia
mengharapkan keharuman nama dan pangkat jabatan dengan pertolongan santri? Ia
tidak mengharapkan keharuman nama dan ketinggian pangkat sama sekali.
Sejak mulai mencurahkan
ilmu kepada para santri, sejak itu pula para santri memanggilnya kyai. Sebutan
ini disematkan dari tahun ke tahun. Hanya itulah kebesaran namanya dan
ketinggian pangkatnya.
Adakah ia mengharapkan
gaji dan dana pensiun setelah lanjut usia? Tidak, sekali-kali tidak! Jauh
panggang daripada api. Gaji dan pensiunannya telah cukup, manakala usaha dan
tujuannya itu diridhai Allah. Itulah tujuan dan harapan seorang kyai, hanya
Allah semata.
Sebagai imbalan dari
keikhlasan kyai, para santri ikhlas belajar dan bersedia menerima pelajaran.
Ikhlas dididik dan menerima pendidikan. Ikhlas dinasihati dengan penuh
kesadaran dan keinsafan.
Ia pergi ke pondok dengan
satu tujuan, thalabul ilmi. Mencari dan menuntut ilmu karena Allah.
Dengan tujuan semata-mata menuntut ilmu, maka yang dinamakan kelas tidak akan
terdapat dalam kamus pondok.
Waktu belajar itu tidak ada
batasnya. Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban, “Menuntut ilmu adalah
kewajiban bagi lelaki dan perempuan kaum muslimin.” “Tuntutlah ilmu
semenjak engkau masih berada di buaian hingga ke liang lahat.” Begitulah
sabda Rasulullah SAW.
Oleh sebab itu, dengan
segala keikhlasan, bertekun dengan kesungguhan hati menghadap kyai, meminta
ilmu dan didikannya. Para santri bertekun dari tahun ke tahun, dari satu, dua,
tiga, sepuluh, lima belas, bahkan sampai dua puluh tahun.
Ia tidak membayangkan
kelas berapa tahun nanti, naik atau tidak, positif, dan negatif. Semua tidak
terlintas dalam benak dan ingatannya. Tak seorang santri pun yang bertanya
kepada kyai, kepada temannya, kepada dirinya sendiri, pangkat apakah yang akan
dicapai, berapa gajinya, dan lain sebagainya.
Bukan untuk Mencari
Ijazah
Surat ijazah, surat
keterangan tanda lulus, hampir lulus, percobaan atau tidak lulus, sama sekali
tidak ada. Kyai tidak memberi, santri sendiri tidak meminta. Ijazahnya ada pada
kesadaran dirinya—tahu diri. Keterangan tanda lulus adalah keinsafan dirinya,
setengah lulus kesadaran dirinya, seperempat lulus evaluasi diri, seperempat
lulus keraguan diri, tidak lulus tak percaya diri.
Ijazah terletak di tengah
umat. Umatlah yang bersedia memberi keterangan tanda lulus atau tidak berguna.
Itulah sebenar-benar dan setinggi-tingginya ijazah. Di akhirat, ijazah itu
tidak akan lebih berharga dan lebih mulia lagi.
Ijazah dari masyarakat
adalah benar, ijazah dari Allah adalah hak dan kekal. Ijazah hakiki karena
keikhlasan tak dapat dibeli dengan uang, tak dapat ditebus dengan barang. Ia
tidak dapat digosok, dipuji dan dirayu.
Demikian keikhlasan Kyai
dengan diimbangi santri. Santri tidak merasa kecewa, tidak pula merasa putus
asa. Kyai ikhlas, santri pun ikhlas. Kedua belah pihak merasa puas. Rasa
cemburu karena tertipu, rasa merana karena terperdaya, tak ada sama sekali. Rasa
khawatir disebabkan tak adil, rasa gelisah karena tak wajar. Itu semua tidak
ada!
Mereka Hidup dalam
Keikhlasan
Pada dewasa ini, di
tengah masyarakat sering dijumpai ketegangan antara yang memimpin dengan yang
dipimpin. Apa sebabnya? Kurang keikhlasan yang menjadi satu-satu sebab di
samping masih berselubung keculasan di dalam hatinya.
Lurus dan benar, niat dan
sengaja karena Allah semata. Tidak mendustai dirinya dengan perkataan “karena
Allah”. Itulah keikhlasan, dalam hatinya tidak bersarang karena ingin dipuji,
dia tidak mengharapkan nama dan sebutan. Usaha dan perbuatannya adalah
kewajiban yang harus dipikul. Kalaupun ada harapan, harapan itu hanya kepada
Allah SWT.
Sering terjadi suatu
usaha patah di tengah jalan dan tak mendapat hasil yang dikehendaki. Ini karena
sifat keikhlasan telah saru—samar, tak jernih, tak suci lagi.
Yang dimaksud dengan
ikhlas adalah bersih, tidak ada campuran. Dalam emas, disebut emas murni.
Kemurnian dalam kerja, itulah ikhlas. Dalam bahasa Jawa, ikhlas ini diungkapkan
dalam bahasa yang sangat sederhana, sepi ing pamrih, yang berarti tidak
berpamrih.
Kalau ada yang tidak
dimengerti atau tidak percaya pada keikhlasan, maka ukurannya yang salah. Hanya
orang yang ikhlas yang tahu akan keikhlasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar