Untuk memperoleh pengertian tentang pondok pesantren, kita
tidak usah membuat analisa terlalu mendalam (bahasa Jawa: njlimet)
dengan meninjau sejarah pondok terlalu jauh sampai ke zaman kuno, membandingkannya
dengan sistem pendidikan Mandala dan sebagainya.
Untuk itu, cukuplah kiranya apabila kita memperhatikan
perkembangan agama Islam di Tanah Air kita sekitar abad ini, kira-kira 100-200
tahun yang lalu, yaitu pada waktu lembaga yang kita sebut “pondok pesantren”
dengan jelas menunjukkan peranannya yang sangat penting dalam syiar agama
Islam.
Sudah tentu kita tidak dapat menerima pengertian pondok
pesantren sebagaimana definisi yang diberikan oleh para orientalis, misalnya
Snouck Hurgrounje, yang hanya memperhatikan bentuk fisik pondok pesantren:
gedung dan bentuk asrama para santri dengan segala tradisinya yang statis.
Sebab memang bukan itu hakikat pondok pesantren yang
telah banyak memberikan jasa kepada bangsa Indonesia. Ini tidak dapat
dipungkiri. Sebagai definisi umum, pondok pesantren adalah berwujud lembaga
pendidikan Islam dengan sistem asrama, kyai sebagai sentral figurnya, masjid
sebagai titik pusat yang menjiwainya.
Isi Pondok Pesantren
1.
Hakikat pondok pesantren
terletak pada isi atau jiwanya, dan bukan pada kulitnya atau luarnya saja. Dalam
isi dan jiwanya itulah kita bisa temukan jasa pondok pesantren bagi umat dan bangsa.
2.
Isi pokok pondok pesantren adalah
pendidikan. Selama beberapa abad pondok pesantren telah memberikan pendidikan (ruhaniyah)
yang sangat berharga kepada para santri sebagai kader-kader mubalig dan pemimpin
umat dalam berbagai bidang kehidupan.
3.
Di dalam pendidikan itulah
terjalin jiwa yang kuat yang sangat menentukan filsafat hidup para santri.
Adapun pelajaran dan pengetahuan yang mereka peroleh selama bertahun-tahun
tinggal di pondok pesantren hanya merupakan kelengkapan atau tambahan.
Jiwa Pondok Pesantren
Kehidupan dalam pondok pesantren dijiwai oleh
suasana-suasana yang dapat kita simpulkan dalam Panca Jiwa Pondok sebagai
berikut:
1.
Jiwa keikhlasan
Sepi ing pamrih, tidak didorong keinginan untuk memperoleh keuntungan
tertentu, semata-mata karena untuk ibadah lillah. Ini meliputi segenap
suasana kehidupan di pondok pesantren.
Kyai ikhlas mengajar, para santri ikhlas belajar, lurah pondok
ikhlas membantu. Segala gerak-gerik dalam pondok pesantren berjalan dalam
suasana keikhlasan yang mendalam. Dengan demikian, terdapat suasana hidup yang
harmonis antara kyai yang disegani dan santri yang taat dan penuh cinta serta
hormat.
2.
Jiwa Kesederhanaan
Kehidupan dalam pondok diliputi suasana kesederhanaan, tetapi
agung. Sederhana bukan berarti pasif (bahasa
Jawa: Narimo), bukan itu artinya dan bukan karena kemelaratan atau
kemiskinan, tetapi mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, penguasaan
diri dalam menghadapi segala kesulitan.
Maka di balik kesederhanaan itu, terpancarlah jiwa besar,
berani maju terus dalam menghadapi perjuangan hidup dan pantang mundur dalam
segala keadaan. Bahkan di sinilah tumbuh mental dan karakter yang kuat,
yang menjadi syarat bagi suksesnya perjuangan dalam segala segi kehidupan.
3.
Jiwa Berdikari
Inilah senjata hidup yang ampuh. Berdikari atau berdiri
di atas kaki sendiri bukan saja dalam arti bahwa santri selalu belajar dan
berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi juga pondok pesantren
itu sendiri sebagai lembaga pendidikan tidak pernah menyandarkan kehidupannya
kepada bantuan dan belas kasihan orang lain.
Itulah zelf berdruiping system atau sama-sama
memberikan iuran dan sama-sama dipakai. Namun tidak bersikap kaku dan menolak
orang-orang yang hendak membantu pondok, membela pondok. Justru pondok perlu
dibela, dibantu dan diperjuangkan. Siapa lagi yang mau membela, membantu dan
memperjuangkan kalau bukan kita umat Islam.
4.
Jiwa Ukhuwah Islamiyah
Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana
persaudaraan yang akrab sehingga segala kesenangan dirasakan bersama, dengan
jalinan perasaan-perasaan keagamaan. Tali ukhuwah persaudaraan ini bukan
hanya selama di pondok pesantren, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan
umat dalam masyarakat sepulang dari pondok.
5.
Jiwa Bebas
Bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan
masa depannya, dalam memilih jalan hidup di tengah masyarakat kelak, dengan
berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi kesulitan. Kebebasan itu bahkan
sampai pada bebas dari pengaruh kolonial asing. Di sinilah harus dicari kenapa pondok
pesantren mengisolir diri dari kehidupan barat yang dibawa oleh penjajah.
Hanya saja dalam kebebasan ini sering kali kita temui
unsur-unsur negatif, yaitu apabila kebebasan itu disalahgunakan, terlalu bebas
sehingga kehilangan arah dan tujuan atau prinsip. Ada pula yang terlalu bebas,
tidak mau dipengaruhi, berpegang teguh kepada tradisi yang dianggap sakral sehingga
tidak mau melihat di sekitarnya dan perubahan zaman.
Akhirnya tidak bebas lagi karena mengikatkan diri pada
yang diketahui itu saja alias kolot. Maka kebebasan itu harus dikembalikan pada
aslinya, yaitu bebas di dalam batas-batas disiplin yang positif, dengan penuh
tanggung jawab, baik di dalam kehidupan pondok pesantren maupun dalam kehidupan
bermasyarakat.
Jiwa bebas yang menguasai suasana kehidupan dalam pondok
pesantren itulah yang dibawa oleh santri sebagai bekal pokok dalam kehidupannya
di tengah masyarakat. Jiwa pondok pesantren inilah yang harus senantiasa dipegang,
dihidupkan, dipelihara dan dikembangkan sebaik-baiknya.
Masa Depan Pondok Pesantren
Sebagian besar atau mayoritas pondok pesantren pada masa
lalu biasanya lebih banyak mengagung-agungkan kebesaran lama pada abad-abad
lampau sehingga menjadi statis. Hal ini hanya boleh berlaku pada masa-masa
bertahan terhadap himpitan tekanan penjajahan yang berusaha menghancurkan
pondok pesantren dan agama Islam.
Ketika itu, pondok pesantren dalam keadaan lemah tak
berdaya untuk berkonfrontasi total melawan penjajah. Pada masa kemerdekaan,
lebih-lebih pada masa revolusi yang selalu meningkat sekarang ini, pondok
pesantren harus memandang jauh ke masa depan, sepuluh, dua puluh tahun yang
akan datang.
Mengingat perkembangan zaman yang senantiasa maju dan
berubah-ubah, maka seharusnya pelajaran dalam pondok pesantren diselenggarakan untuk
masa depan kehidupan para santri di dalam masyarakat, dengan menggunakan
didaktik dan metodik yang menguntungkan pula. Meski demikian, kita tidak usah
mengubah inti pendidikan keagamaan dan jiwa pondok pesantren di atas.
Jika dikehendaki, pondok pesantren dapat terus
mempertahankan kehidupannya, maka syarat-syarat material harus diperhatikan.
Untuk itu, harus ada wakaf yang menjadi backing bagi kelangsungan hidup
pondok pesantren dan untuk dapat senantiasa meninggikan mutu pendidikan dan
pengajarannya. Sebagai contoh, kita perhatikan bagaimana Universitas Al-Azhar,
Kairo Mesir mengembangkan wakafnya.
Satu hal lagi yang sering kali dilupakan pondok pesantren
pada masa lampau, yaitu pembentukan kader, generasi atau penerus untuk
kelanjutan dan kelangsungan hidup pondok pesantren. Hidup matinya sosok kyai atau
pemimpin pondok pesantren merupakan kelangsungan hidup suatu pondok pesantren.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, tiap-tiap pondok
pesantren harus menyiapkan kader-kader yang akan menggantikan dan mengembangkan
usaha dan apa yang dirintis oleh generasi tua. Dengan demikian, pondok
pesantren akan tetap terus hidup dan berkembang, meskipun kyai-kyainya telah
berulang kali berganti.
Apabila disetujui dapat dipikirkan kiranya untuk
mengorganisir penyelenggaraan pondok pesantren sebaik-baiknya, dengan manajemen
serapi mungkin. Ini sebenarnya hanya merupakan perumusan dari tradisi pondok
pesantren yang sudah lama berlaku ke dalam tata laksana pendidikan pondok
pesantren yang lebih baik dan teratur.
Jadi, segala sesuatu yang berkenaan dengan
penyelenggaraan pondok pesantren akan dapat diatur sebaik-baiknya dan seefisien
mungkin, termasuk di dalamnya tentang batas-batas hak dan kewajiban kyai,
ustadz, para santri, dan pondok pesantren itu sendiri. Ini lebih menjamin
kelangsungan hidup, keselamatan dan perkembangan pondok pesantren di masa mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar