Pondok pesantren lebih
mementingkan pendidikan dibanding pengajaran. Pendidikan di Pondok Pesantren Modern
As-Salam memiliki tujuan yang jelas, yiatu:
1. Kemasyarakatan.
2. Hidup sederhana.
3. Tidak berpartai.
4. Tujuan utamanya adalah
ibadah thalabul ilmi, bukan menjadi pegawai.
1. Kemasyarakatan
Segala sesuatu yang
kiranya akan dialami dalam masyarakat, itulah pendidikan yang akan diberikan
kepada santri. Segala tindakan dan pelajaran, bahkan segala gerak-gerik yang
ada di pondok pesantren itulah yang akan ditemui di masyarakat.
Tegasnya, kita tidak
terlalu mengingat apa yang harus dipelajari di perguruan tinggi. Namun, kita
selalu mengingat dan memperhatikan apa yang akan ditemui, dihadapi, dan
diamalkan di masyarakat. Dengan harapan, ketika terjun ke masyarakat, santri
tidak akan canggung menjadi guru, baik di sekolah rakyat, madrasah ibtidaiyah,
tsanawiyah, mengajar pelajaran agama maupun pelajaran umum. Tidak canggung
menjadi pengurus suatu organisasi, menjadi mubalig, dan lain sebagainya.
Selain itu, ia tidak
segan bekerja sebagai petani, berwirausaha, dan pekerjaan lainnya sesuai bakat
masing-masing. Hendaknya tidak hanya bersedia menjadi pegawai, tetapi selalu
berusaha agar dapat memimpin pegawai.
Jika kita mempelajari dan
meneliti dengan seksama, perekonomian rakyat dulu dikuasai oleh orang-orang
lulusan pondok. Sebagai contoh, koperasi batik yang para pengurusnya merupakan
lulusan pondok.
Sementara itu, lulusan
akademi batik atau akademi tekstil, pada praktiknya hanya menjadi pegawai dan
buruh yang mengandalkan upah bulanan. Begitu pun dengan perekonomian di kota
lain, seperti Solo, Yogyakarta, Semarang, Pekalongan, Cirebon, Ciamis, Garut,
dan Pasar Senen Jakarta. Ilmu yang bermanfaat menjadi dasar pendidikan dan
pengajaran di Pondok Pesantren Modern As-Salam.
Sekali lagi harus
diingat, “Kita adalah masyarakat.” Jangan sampai seolah-olah menjauhi
masyarakat. Mengapa kita harus menjauhi masyarakat sedangkan dari masyarakat
kita berasal, masyarakat yang mengasuh, mengenang dan membesarkan kita. Mereka
menantikan kedatangan dan mengharapkan bimbingan dan kepemimpinan kita.
Akhirnya, masyarakat pula
yang menilai, menghargai usaha dan amal kita. Lebih tepatnya, mereka akan
menilai akhlak, pribadi, memanfaatkan kita dalam kehidupan masyarakat.
2. Hidup Sederhana
Mengingat beberapa faktor
pendidikan jasmani dan rohani, maka penting sekali dibiasakan untuk hidup
sederhana. Semua harus kita laksanakan secara sederhana tanpa mengurangi
kualitas kesehatan, baik makan, tidur, berpakaian, maupun rekreasi.
Sederhana adalah pokok
keberuntungan. Ia dapat memudahkan kehidupan yang jujur dan bersih. Sebaliknya,
mewah tidak mengenal batas, mudah terpengaruh oleh ajakan setan dan Iblis yang
selalu mengajak ke jalan kejahatan dan menyebabkan mudah lupa kepada
kemanusiaan, tanggung jawab dan rasa syukur.
Biasa hidup sederhana
niscaya akan hidup bahagia dan dapat menghadapi hidup dengan kepala tegak,
kesanggupan, dan tidak cemas atau takut akan bayangan masa depan. Hidup
sederhana bukan menunjukkan kemiskinan. Sederhana bukan berarti miskin. Hidup
mewah bukan berarti hidup tidak bermanfaat. Kemewahan bukan kehormatan bahkan
mungkin sebaliknya.
Kesederhanaan tersebut
antara lain: makanan. Di pondok pesantren, makan dengan antre merupakan hal
biasa, membawa piring, mencuci, dan menyimpan sendiri. Keadaan seperti ini
mengingatkan orang yang sedang berlayar di atas kapal. Dikatakan demikian
karena ada beberapa alasan: belum ada ruang makan, tidak selamanya anak serentak
dan makan bersama, pertanggungjawaban perkakas dapur dapat diatasi sendiri,
mendidik anak-anak agar tidak merasa malu atau rendah diri karena mengerjakan
sesuatu yang remeh.
Nasi yang disediakan
bukan nasi putih karena menurut kesehatan nasi putih kurang mengandung vitamin
sedangkan vitamin berguna bagi kesehatan tubuh. Untuk lauk pauknya diusahakan
menyediakan sayur-sayuran yang mengandung kalori. Kadang diselingi daging
sesekali, satu kali atau dua kali seminggu. Pertumbuhan dan kesehatan santri diperhatikan
dengan menyediakan menu setiap harinya.
Ini tidak dapat
dipungkiri karena dari badan yang sehat akan memancarkan pikiran yang sehat.
Pertumbuhan jasmani yang baik akan menimbulkan pertumbuhan rohani yang pesat.
Jadi, yang dicari bukan
lezatnya makanan yang akan menjamin kesehatan, tetapi kemanfaatan dan
keberkahan makanan yang dapat menghasilkan keuntungan dan kebahagiaan jiwa dan
raga.
Demikian pula dengan
urusan mandi. Ketika pondok belum memiliki kamar mandi toilet yang mencukupi untuk
melayani anak-anak yang banyak sehingga harus antre. Untuk mendapatkan antre
pertama, santri harus bangun pagi-pagi. Bangun terlambat akibatnya akan
ketinggalan.
Hal lainnya adalah
pakaian. Pakaian yang dipakai di pondok pesantren harus sederhana. Biar lama yang
penting bersih. Tidak mengapa memakai pakaian yang bertambal, asal sopan. Tidak
usah memakai pakaian yang model-model. Memakai pakaian model Nepoleon akan
ditertawakan orang. Pakaian model cowboy tidak pantas dipakai. Kita
hidup di zaman modern, kenapa harus kembali ke zaman Nepoleon.
Sebagai pemuda Islam
harus tahu batas dan aturan berpakaian. Harus memiliki perasaan dan kesopanan
yang dapat dibanggakan oleh bangsa dan umat. Pakaian ketat tidak menunjukkan
keluhuran dan ketinggian adab, bahkan sebaliknya. Ini seharusnya dihilangkan
dari pondok karena menunjukkan kemunduran budi dan kerendahan pekerti.
Jelaslah sekarang bahwa
landasan pendidikan di pondok pesantren adalah kemasyarakatan berdasarkan
kesederhanaan. Itulah pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Modern As-Salam. Semua
santri dilatih dan berlatih memperhatikan dan mengerjakan hal-hal yang akan
dialami di masyarakat kelak.
Semua santri dididik agar
masing-masing memiliki rasa cinta berkorban untuk kepentingan masyarakat,
khususnya masyarakat Islam. Berkurangnya rasa berkorban di kalangan umat Islam
inilah yang mengakibatkan mundurnya umat Islam di Indonesia.
3. Tidak Berpartai
Salah satu sebab yang
tidak dapat dipungkiri, sebab kemunduran umat Islam adalah timbulnya
pertentangan dan perpecahan di kalangan umat itu sendiri. Secara historis, umat
Islam di Indonesia mengalami perpecahan sejak lama. Politik divide et empera
sangat mendalam dan meresap ke dalam hati bangsa Indonesia. Politik adu
domba, taktik pecah belah di kalangan bangsa telah berakar kuat.
Dalam keadaan demikian,
sedari awal Pondok Pesantren Modern As-Salam telah menghindarkan diri.
Perpecahan antar kesukuan disingkirkan jauh-jauh. Pengasuh dan dewan guru pun
tidak berpartai.
Itulah sebabnya, santri yang
terdiri dari putra-putra pemimpin bermacam-macam partai dan golongan. Ini terus
berjalan mengikuti semboyan pendidikan di pondok pesantren agar berpikiran
bebas. Sikap tersebut benar-benar mendapat persetujuan semua golongan. Dengan
demikian, sekeluarnya dari Pondok Pesantren Modern As-Salam, mereka bebas
memilih paham, aliran, dan golongan.
Di pondok pesantren mereka
memiliki paham tunggal guru, tunggal pondok, tunggal pendidikan, dan berpikiran
bebas. Anak yang sedang belajar di PPM As-Salam hanya mengenal satu organisasi
pelajar—Organisasi Pelajar Pondok Pesantren Modern As-Salam (OP3MA) dan
satu organisasi kepanduan.
4. Ibadah Thalabul Ilmi,
Bukan Menjadi Pegawai
Pondok pesantren mendidik
santri-santrinya bukan untuk menjadi pegawai, tetapi menganjurkan agar mereka
giat bekerja dan bersemangat dalam thalabul ilmi. Tentang bagaimana dan
akan menjadi apa nantinya, menjadi pegawai tingkat berapa, itu sama sekali
tidak menjadi dasar pikiran. Bahkan diharapkan mereka dapat menjadi orang yang
cakap memimpin suatu usaha atau organisasi, serta dapat menjadi pemimpin bagi
teman-temannya.
Ini dapat dilihat dari
perkembangan perekonomian, perdagangan, perusahaan, dan tokoh-tokoh yang
menjadi pemimpin. Semuanya tidak tergantung pada pelajaran yang khusus, tetapi
tetap bergantung pada pendidikan jiwa dan karakter. Apabila terpaksa di antara
mereka ada yang menjadi pegawai pun tidak canggung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar