Rabu, 09 Mei 2018

Pendidikan di Pondok Pesantren




Pondok pesantren lebih mementingkan pendidikan dibanding pengajaran. Pendidikan di Pondok Pesantren Modern As-Salam memiliki tujuan yang jelas, yiatu:
1. Kemasyarakatan.
2. Hidup sederhana.
3. Tidak berpartai.
4. Tujuan utamanya adalah ibadah thalabul ilmi, bukan menjadi pegawai.

1. Kemasyarakatan
Segala sesuatu yang kiranya akan dialami dalam masyarakat, itulah pendidikan yang akan diberikan kepada santri. Segala tindakan dan pelajaran, bahkan segala gerak-gerik yang ada di pondok pesantren itulah yang akan ditemui di masyarakat.
Tegasnya, kita tidak terlalu mengingat apa yang harus dipelajari di perguruan tinggi. Namun, kita selalu mengingat dan memperhatikan apa yang akan ditemui, dihadapi, dan diamalkan di masyarakat. Dengan harapan, ketika terjun ke masyarakat, santri tidak akan canggung menjadi guru, baik di sekolah rakyat, madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, mengajar pelajaran agama maupun pelajaran umum. Tidak canggung menjadi pengurus suatu organisasi, menjadi mubalig, dan lain sebagainya.
Selain itu, ia tidak segan bekerja sebagai petani, berwirausaha, dan pekerjaan lainnya sesuai bakat masing-masing. Hendaknya tidak hanya bersedia menjadi pegawai, tetapi selalu berusaha agar dapat memimpin pegawai.
Jika kita mempelajari dan meneliti dengan seksama, perekonomian rakyat dulu dikuasai oleh orang-orang lulusan pondok. Sebagai contoh, koperasi batik yang para pengurusnya merupakan lulusan pondok.
Sementara itu, lulusan akademi batik atau akademi tekstil, pada praktiknya hanya menjadi pegawai dan buruh yang mengandalkan upah bulanan. Begitu pun dengan perekonomian di kota lain, seperti Solo, Yogyakarta, Semarang, Pekalongan, Cirebon, Ciamis, Garut, dan Pasar Senen Jakarta. Ilmu yang bermanfaat menjadi dasar pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Modern As-Salam.
Sekali lagi harus diingat, “Kita adalah masyarakat.” Jangan sampai seolah-olah menjauhi masyarakat. Mengapa kita harus menjauhi masyarakat sedangkan dari masyarakat kita berasal, masyarakat yang mengasuh, mengenang dan membesarkan kita. Mereka menantikan kedatangan dan mengharapkan bimbingan dan kepemimpinan kita.
Akhirnya, masyarakat pula yang menilai, menghargai usaha dan amal kita. Lebih tepatnya, mereka akan menilai akhlak, pribadi, memanfaatkan kita dalam kehidupan masyarakat.
2. Hidup Sederhana
Mengingat beberapa faktor pendidikan jasmani dan rohani, maka penting sekali dibiasakan untuk hidup sederhana. Semua harus kita laksanakan secara sederhana tanpa mengurangi kualitas kesehatan, baik makan, tidur, berpakaian, maupun rekreasi.
Sederhana adalah pokok keberuntungan. Ia dapat memudahkan kehidupan yang jujur dan bersih. Sebaliknya, mewah tidak mengenal batas, mudah terpengaruh oleh ajakan setan dan Iblis yang selalu mengajak ke jalan kejahatan dan menyebabkan mudah lupa kepada kemanusiaan, tanggung jawab dan rasa syukur.
Biasa hidup sederhana niscaya akan hidup bahagia dan dapat menghadapi hidup dengan kepala tegak, kesanggupan, dan tidak cemas atau takut akan bayangan masa depan. Hidup sederhana bukan menunjukkan kemiskinan. Sederhana bukan berarti miskin. Hidup mewah bukan berarti hidup tidak bermanfaat. Kemewahan bukan kehormatan bahkan mungkin sebaliknya.
Kesederhanaan tersebut antara lain: makanan. Di pondok pesantren, makan dengan antre merupakan hal biasa, membawa piring, mencuci, dan menyimpan sendiri. Keadaan seperti ini mengingatkan orang yang sedang berlayar di atas kapal. Dikatakan demikian karena ada beberapa alasan: belum ada ruang makan, tidak selamanya anak serentak dan makan bersama, pertanggungjawaban perkakas dapur dapat diatasi sendiri, mendidik anak-anak agar tidak merasa malu atau rendah diri karena mengerjakan sesuatu yang remeh.
Nasi yang disediakan bukan nasi putih karena menurut kesehatan nasi putih kurang mengandung vitamin sedangkan vitamin berguna bagi kesehatan tubuh. Untuk lauk pauknya diusahakan menyediakan sayur-sayuran yang mengandung kalori. Kadang diselingi daging sesekali, satu kali atau dua kali seminggu. Pertumbuhan dan kesehatan santri diperhatikan dengan menyediakan menu setiap harinya.
Ini tidak dapat dipungkiri karena dari badan yang sehat akan memancarkan pikiran yang sehat. Pertumbuhan jasmani yang baik akan menimbulkan pertumbuhan rohani yang pesat.
Jadi, yang dicari bukan lezatnya makanan yang akan menjamin kesehatan, tetapi kemanfaatan dan keberkahan makanan yang dapat menghasilkan keuntungan dan kebahagiaan jiwa dan raga.
Demikian pula dengan urusan mandi. Ketika pondok belum memiliki kamar mandi toilet yang mencukupi untuk melayani anak-anak yang banyak sehingga harus antre. Untuk mendapatkan antre pertama, santri harus bangun pagi-pagi. Bangun terlambat akibatnya akan ketinggalan.
Hal lainnya adalah pakaian. Pakaian yang dipakai di pondok pesantren harus sederhana. Biar lama yang penting bersih. Tidak mengapa memakai pakaian yang bertambal, asal sopan. Tidak usah memakai pakaian yang model-model. Memakai pakaian model Nepoleon akan ditertawakan orang. Pakaian model cowboy tidak pantas dipakai. Kita hidup di zaman modern, kenapa harus kembali ke zaman Nepoleon.
Sebagai pemuda Islam harus tahu batas dan aturan berpakaian. Harus memiliki perasaan dan kesopanan yang dapat dibanggakan oleh bangsa dan umat. Pakaian ketat tidak menunjukkan keluhuran dan ketinggian adab, bahkan sebaliknya. Ini seharusnya dihilangkan dari pondok karena menunjukkan kemunduran budi dan kerendahan pekerti.
Jelaslah sekarang bahwa landasan pendidikan di pondok pesantren adalah kemasyarakatan berdasarkan kesederhanaan. Itulah pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Modern As-Salam. Semua santri dilatih dan berlatih memperhatikan dan mengerjakan hal-hal yang akan dialami di masyarakat kelak.
Semua santri dididik agar masing-masing memiliki rasa cinta berkorban untuk kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat Islam. Berkurangnya rasa berkorban di kalangan umat Islam inilah yang mengakibatkan mundurnya umat Islam di Indonesia.
3. Tidak Berpartai
Salah satu sebab yang tidak dapat dipungkiri, sebab kemunduran umat Islam adalah timbulnya pertentangan dan perpecahan di kalangan umat itu sendiri. Secara historis, umat Islam di Indonesia mengalami perpecahan sejak lama. Politik divide et empera sangat mendalam dan meresap ke dalam hati bangsa Indonesia. Politik adu domba, taktik pecah belah di kalangan bangsa telah berakar kuat.
Dalam keadaan demikian, sedari awal Pondok Pesantren Modern As-Salam telah menghindarkan diri. Perpecahan antar kesukuan disingkirkan jauh-jauh. Pengasuh dan dewan guru pun tidak berpartai.
Itulah sebabnya, santri yang terdiri dari putra-putra pemimpin bermacam-macam partai dan golongan. Ini terus berjalan mengikuti semboyan pendidikan di pondok pesantren agar berpikiran bebas. Sikap tersebut benar-benar mendapat persetujuan semua golongan. Dengan demikian, sekeluarnya dari Pondok Pesantren Modern As-Salam, mereka bebas memilih paham, aliran, dan golongan.
Di pondok pesantren mereka memiliki paham tunggal guru, tunggal pondok, tunggal pendidikan, dan berpikiran bebas. Anak yang sedang belajar di PPM As-Salam hanya mengenal satu organisasi pelajar—Organisasi Pelajar Pondok Pesantren Modern As-Salam (OP3MA) dan satu organisasi kepanduan.
4. Ibadah Thalabul Ilmi, Bukan Menjadi Pegawai
Pondok pesantren mendidik santri-santrinya bukan untuk menjadi pegawai, tetapi menganjurkan agar mereka giat bekerja dan bersemangat dalam thalabul ilmi. Tentang bagaimana dan akan menjadi apa nantinya, menjadi pegawai tingkat berapa, itu sama sekali tidak menjadi dasar pikiran. Bahkan diharapkan mereka dapat menjadi orang yang cakap memimpin suatu usaha atau organisasi, serta dapat menjadi pemimpin bagi teman-temannya.
Ini dapat dilihat dari perkembangan perekonomian, perdagangan, perusahaan, dan tokoh-tokoh yang menjadi pemimpin. Semuanya tidak tergantung pada pelajaran yang khusus, tetapi tetap bergantung pada pendidikan jiwa dan karakter. Apabila terpaksa di antara mereka ada yang menjadi pegawai pun tidak canggung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar