Oleh KH. Ahmad Sahal
Saya berbicara kali ini betul-betul dengan ikhlas. Saya
akan ambil sedikit-sedikit dan singkatnya atau pucuknya saja. Semua yang akan
saya sampaikan ini bahkan sedikitnya direkam dan rekaman ini nanti mudah
menjadi buku dan dapat dibaca oleh seluruh umat, sampai kepada anak cucu saya
sendiri dan anak-anakku sekalian yang ada.
Sebagai mukadimah, jangan sampai salah terima, kalau
Pondok Modern, Pak Sahal ataupun Pak Zarkasyi itu anti kepada siapa pun yang
menjadi pegawai, anti kepada priyayi, anti kepada buruh. Tidak! Sama sekali
tidak. Ini supaya dicatat lebih dahulu, saya tidak menghalangi, saya tidak
anti, saya tidak memusuhi orang yang menjadi pegawai. Maka di sini saya
tekankan niatmu. Jangan salah niat. Kalau sampai salah niat, akan rugi hidupmu.
Selama hidupmu hanya akan rugi karena salah niat.
Kalau saya, rumah tangga saya, anak-istri-cucu saya
kebetulan kecukupan, jangan dikatakan saya ini bangga, tapi hanya syukur, hanya
kebetulan, bukan sombong, bukan bangga. Umpamanya masuk di Pondok Modern ini
ingin jadi pegawai, itu berarti niatmu sudah kalang kabut. Jangan sampai niatmu
itu rusak, maka di sini saya beri jalan, bagaimana cara orang hidup.
Kalau sekarang anak-anak ini kebetulan orangtuanya
melarat, maka jangan kecil hati. Sekiranya anak-anak ini orangtuanya kaya, maka
jangan besar hati. Ini di antaranya yang saya anggap penting dalam pembicaraan
ini. Saya sudah tidak punya apa-apa, tetapi berani hidup. “Berani hidup tak
takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja.” Itu semboyan saya.
Segala titah apapun, cacing-cacing, kutu-kutu, belalang,
kalajengking, katak, kadal, semut, semua sudah dijamin rezekinya oleh Allah.
Ini yang saya pegang.
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ
فِى اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا
حَرِّكْ يَدَكَ أُنْزِلَ
عَلَيْكَ رِزْقًا
Ini harus diingat, gerakkan tanganmu dan Allah akan
menurunkan rezeki kepadamu. Sungguh saya sudah tidak punya apa-apa.
Konsekuensinya, saya digoda sampai melarat habis-habisan, tapi perkiraan saya
tidak sampai lepas: “Kumlawe gumreged.” Kumlawe artinya tangan
digerakkan dan gumreged artinya mempunyai niat dan kehendak.
Jangan kecil hati karena tidak menjadi pegawai,
menghadapi hidup jangan kecil hati, betul-betul jangan kecil hati. Pada suatu
masa, beban akan menimpa keluargamu sebagaimana yang pernah dialami keluarga
saya, sebagaimana orangtua saya menyekolahkan anak-anaknya, apa yang saya pakai
untuk menyekolahkan anak saya.
Keponakan saya sekolah ini, anak Pak Lurah (Rahmat
Soekarto, Kakak Tertua Trimurti—red.) sekolah HIS yang uang sekolahnya
sampai 3 Gulden atau 3 Rupiah, setara dengan satu kuintal padi. Tapi saya bismillah,
tanah saya yang sebelah sana sebanyak seperempat hektar telah saya wakafkan,
yang sebelah situ setengah hektar pun sudah saya wakafkan.
Hanya tanaman itu (pohon kelapa) selama anak Pak Sahal
masih sekolah hasilnya masih tetap dipungut untuk menyekolahkan anak Pak Sahal.
Yang berarti anak-anak itu akan meneruskan cita-cita Pak Sahal. Itu di antara
nasib yang saya alami, tetapi tetap berani: “Berani hidup tak takut mati, takut
mati jangan hidup, takut hidup mati saja.” Tak perlu korupsi bisa hidup.
Jangan kecil hati, jangan edan-edanan, saya
tidak anti kalau nanti anak-anakku menjadi mahasiswa, menjadi sarjana, kemudian
menjadi pegawai, jadi buruh, gajinya sebulan dua puluh lima ribu sampai lima
puluh ribu rupiah (dengan kurs 3 rupiah setara dengan satu kuintal padi—red).
Tetapi jangan ke sana tekanannya, jangan terlalu menggarisbawahi ke sana,
sampai-sampai lupa pada tugasnya.
Kalau orang sudah menjadi pegawai, mati
otaknya. Ini tidak semua, tapi pada umumnya. Sudah sekolah setengah mati, masuk
tsanawiyah terus ke pondok, lalu menjadi mahasiswa, akhirnya menjadi pegawai,
lupa segalanya. Kitabnya tidak dibaca lagi, tablig tidak mau, nasib rakyat
tidak dipedulikan, hanya kumpul dengan anak-istrinya. Khianat, khianat!
Hidupnya hanya akan menghitung-hitung tanggal
berapa ini? Kurang berapa hari lagi sebulan? Kapan naik pangkatnya? Kapan naik
gajinya? Kapan ini? Kapan itu? Hidupnya jor-joran dengan kawan-kawannya. Na’udzubillah.
Sudah sekian lamanya belajar agama, seperti
tafsir, hadis, dan lainnya. Tidak untuk mengurus tablig, tidak untuk mengajar,
tidak untuk apa-apa. Hilang setelah menjadi pegawai. Sudah lupa kepada
masyarakat, lupa kepada nasib negara, lupa nasib agama. Masih untung kalau
masih mau sembahyang atau Jumatan. Itulah pegawai. Boleh dilihat, jadi pegawai
sepuluh atau dua puluh tahun belum bisa membeli rumah. Itu biasa, paling-paling
punya kalung sebentar, cincin sebentar, Honda sebentar.
Jangan sampai anak-anak sekalian menyandarkan
warisan orangtua, warisan tidak memberkahi, anggaplah tidak akan menerima
warisan. Hidup harus self help, berani menolong diri sendiri. Maka kalau
hanya menyandarkan pada orangtua itu kere, pengemis. Kalau memang jantan, tidak
usah menerima warisan, seperti Trimurti, Pak Sahal, Pak Zarkasyi, Pak Fanani.
Ayah saya hanya mempunyai sawah, tidak lebih dari satu hektar, tapi
anak-anaknya seperti saya, Pak Lurah, Pak Fanani, Pak Zarkasyi, dan lainnya
sabar.
Pegang sabit, pegang cangkul, betul-betul
petani. Pak Lurah Sepuh, ayahnya Pak Muhsin juga mencangkul. Saya pun demikian,
tetapi tidak kecil hati. Zaman dulu, kalau orang sudah sekolah Belanda itu
merasa menjadi ningrat, merasa sudah terpandang, orang maju, orang yang cerdas
karena sekolah di sekolah Belanda. Tapi ayah saya tidak demikian, ayah saya
seorang kiai desa, tetapi terpandang, jujur, adil dan dicintai.
Menjadi murid atau santri Pondok Modern
jangan kecil hati. Kamu itu belum apa-apa, besarkan hatimu. Yen wanio ing
gampang, wedhio ing pakewuh, sabarang ora kelakon. Ini wasiat Ramayana.
Artinya, kalau hanya ingin enak saja, takut kesulitan, takut kesukaran hidup,
apa saja tidak akan tercapai. Hidup adalah perjuangan. Lieben is treigen.
Itulah manusia hidup di dunia, jangan takut hidup. Ini yang harus dipegang
mulai sekarang.
Yang lebih penting lagi adalah jujur, percaya
kepada Allah, jangan kecil hati. Inilah yang saya amanatkan, amanat yang saya
pidatokan, yang pertama kali mengenai iqtishadiyyah, mengenai ekonomi, pangupa
jiwa, golek sandang pangan, sangune urep.
Jangan sampai anak-anakku iri kepada
kawan-kawannya yang menjadi pegawai, iri kepada yang mendapat gaji. Sekali lagi
jangan kecil hati, jangan salah niat. Ini yang saya tanamkan pertama kali
kepada anak-anakku sekalian.
Jangan takut hidup, yang penting iman kuat,
jaga kehormatan. Insya Allah cukup rezeki. Ini saja anak-anakku, mudah-mudahan
ada manfaatnya, ada berkahnya untuk hidup dunia akhirat, dan husnul khatimah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar