Hotel itu didirikan untuk
disewakan. Semakin lengkap fasilitas yang dimiliki, maka semakin mahal biaya
sewanya. Mereka memang melakukan promosi untuk menarik masyarakat agar mau
menginap di sana. Sesudah membayar uang sewa, mereka berhak menginap dan melakukan
apa saja semau mereka. Saat kamar dan kasur kotor, mereka bisa memanggil
pelayan untuk menyapu, mengepel, serta mengganti seprei dan sarung bantalnya.
Namun, yang demikian
tidak berlaku di pondok. Pondok itu hak dan milik bersama. Setiap santri baru datang,
bertambahlah penduduk pondok untuk bersama mengelola dan mempertanggungjawabkan
keberesan pondok. Mereka bersyukur karena ada tempat untuk berdiam dan
bertempat tinggal karena sudah dibuatkan oleh kakak-kakak angkatan. Tentu, ada
iuran untuk kepentingan bersama di pondok, seperti membeli minyak, memperbaiki
timba, dan lain sebagainya. Namun, iuran itu bukan untuk sewa, sekadar untuk
urunan agar kegiatan pondok bisa berjalan dengan baik.
Pondok juga bukan
kos-kosan. Meski bentuknya asrama, tetapi berbeda dengan kos-kosan atau asrama
lainnya. Orang yang indekos terikat dengan aturan-aturan yang dibuat pemilik
kos-kosan. Peraturan itu mengikat dan kaku, baik makan, tidur, keluar, atau jam
jenguk tamu. Mereka tidak boleh melakukan sesuatu kecuali yang telah ditentukan
pemilik kos-kosan.
Sedangkan kehidupan
pondok sangat bebas dan luwes. Santri diberi kebebasan seluas mungkin selama
tidak merusak dan mengganggu proses pendidikan dan pengajaran. Santri bebas
bergerak, berpikir, dan bertindak dalam batas-batas disiplin yang disepakati
bersama. Jadi, pondok itu mendidik untuk mandiri—berdiri di atas kaki sendiri (zelp
help).
Dengan begitu, mereka
bisa mengukur sendiri berdasarkan usaha dan kekuatan yang mereka miliki. Pemuda
yang dapat mengukur kekuatan diri inilah yang mampu merencanakan masa depan,
mampu menangkap kesempatan, mempersiapkan langkah-langkah yang tepat untuk
mencapainya.
Sebaliknya, pemuda yang
tak mampu mengukur kemampuan diri, maka masa depannya menjadi suram karena
tidak tahu apa yang harus dilakukan, peragu dalam setiap langkahnya. Dengan
begitu, dia sulit mendapat kepercayaan di tangah masyarakat. Bagaimana bisa
mendapat kepercayaan dari masyarakat, sedangkan mereka tidak percaya pada diri
mereka sendiri. Bagaimana pula dia bisa menenteramkan hati orang lain,
sedangkan mereka merasa ragu-ragu terhadap diri mereka sendiri.
Bisa dibilang, kemajuan,
ketenteraman, dan kebahagiaan hidup sangat dipengaruhi oleh kemampuan untuk
mengetahui kekuatan diri. Karena itu, pondok melatih santri untuk memegang
tanggung jawab, baik untuk kepentingan diri maupun kepentingan bersama.
Misalnya, tanggung jawab kebersihan dan keamanan kamar dan lingkungan pondok,
mencuci baju, menanak nasi, dan lain sebagainya.
Inilah unsur-unsur
pendidikan yang ada dalam pondok, yaitu membentuk karakter dan kepribadian
santri. Para ahli pendidikan seperti Dr. Soetomo dan Ki Hadjar Dewantara
menyetujui dan mengamini dasar-dasar pendidikan dalam pondok. Inilah
dasar-dasar pendidikan yang ditanamkan dalam pondok pesantren sejak dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar