Pertama-tama yang harus
dipahami terlebih dahulu, apa itu pondok pesantren, siapa yang punya, apa
isinya, bagaimana kehidupan di dalamnya, mengapa demikian, apa partainya, ke
mana nanti sesudah lulus, dan lain sebagainya.
Semua ini sangat penting
untuk diketahui agar tidak salah alamat dan salah sambung. Tidak menanyakan
gulai atau sate di toko buku, tidak memancing udang di pematang sawah. Karena
gulai dan sate biasa dijual di warung-warung nasi, buku dijual di toko-toko
buku, sedangkan udang hanya ada di sungai dan lautan.
Mempelajari sesuatu yang
tidak pada tempatnya dapat kita katakan salah alamat atau salah sambung.
Mempelajari dan meneliti sesuatu itu sangat penting agar tidak keliru, kecele,
dan ragu. Jangan seperti orang buta meraba gajah. Jangan seperti monyet makan
manggis.
Karena itu, jangan
melihat dari satu sudut pandang saja. Jangan merasakan pedas dan manisnya saja
saat mencicipi masakan. Jangan seperti orang yang naik kereta api,
bersorak-sorai ketika kereta berangkat. Jangan seperti orang melihat hutan,
tetapi tertutup oleh satu pohon. Jangan seperti orang yang numpang kendaraan,
tetapi tidak tahu arah, jarak yang ditempuh, dan tujuannya.
Mungkin Anda tidak mau
tahu dan masa bodoh, tetapi alangkah baiknya kalau mengetahui apa itu pondok
pesantren sehingga Anda mendapat gambaran akan menjadi apa siswa di sana. Jadi,
perkenalan itu penting.
Secara faktual, banyak
orang yang salah paham terhadap Pondok Modern sehingga sesat dan menyesatkan.
Sebagian ada yang mengira bahwa Pondok Modern itu lebih modern dalam pemahaman
agama, Pondok Modern banyak mementingkan pelajaran agama daripada ilmu umum,
atau sebaliknya.
Ada juga yang bilang,
Pondok Modern hanya mementingkan budi pekerti dan bahasa asing, gedungnya
bagus-bagus dan megah, dan suasana kepesantrenannya hanya tampak di bulan
Ramadhan.
Semua pendapat ini tidak
bisa disalahkan sepenuhnya atau dibenarkan sepenuhnya. Untuk mengetahui apa itu
Pondok Modern, maka diadakan pekan perkenalan. Yang jelas, kami sudah
mengikrarkan, “Semua yang ada di pondok pesantren itu untuk perbaikan.” In
uridu illal ishlah.
Segala sesuatu yang ada
dalam Pondok Modern ini harus berisi pendidikan, latihan, dan pengajaran. Semua
pendidikan dan pengajaran di Pondok Modern harus selalu menyesuaikan dengan
kebutuhan umat—kebutuhan masyarakat 10-20 tahun mendatang. Semua itu
dipersiapkan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan amanah dan kewajiban
kepada Allah.
Semoga dengan pekan
perkenalan ini, hilanglah rasa ragu, kemudian tumbuh kepercayaan dalam hati.
Dengan demikian, lahirlah rasa cinta dan ikhlas yang mendalam terhadap apa saja
yang dilakukan Pondok Modern.
Orang di luar pondok
pesantren sering salah menjelaskan apa pengertian pondok dan kekeliruan orang
luar memaknai sebuah pondok. Menurut Dr. C. Snouck Hurgronje (1857-1936),
seorang orientalis berkebangsaan Belanda, pondok itu terdiri dari gedung-gedung
persegi empat, biasanya terbuat dari bambu-bambu.
Untuk desa dengan tingkat
kesejahteraan yang bagus, tak jarang ditemukan dinding dan tangga pondok
terbuat dari jenis kayu yang berkualitas. Karena kebanyakan santri tidak
bersepatu dan harus mencuci kaki sebelum masuk ke asrama, maka dibuatlah titian
dari batu yang menghubungkan antara sumur dengan asrama. Untuk pondok yang
lebih sederhana biasanya hanya terdiri dari satu ruangan besar yang menjadi
bangsal bagi santri.
Sedangkan untuk pondok
yang lebih besar, biasanya terdiri dari deretan kamar-kamar kecil yang saling
berhadapan, di tengah-tengahnya ada gang, kamar-kamarnya kecil dan sempit
sehingga ketika memasuki kamar harus menundukkan kepala. Jendelanya pun
kecil-kecil dengan hiasan teralis kayu.
Demikian pula perabotan
dalam kamar, sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu tergantung tikar
yang terbuat dari pandan atau rotan, dampar yang di atasnya disusun kitab-kitab
klasik, pena dan tempat tinta yang terbuat dari kuningan atau botol biasa. Jika
seorang murid hendak mengerjakan tugas sekolah, mereka duduk bersila di atas
tikar sambil menghadap ke jendela. Terkadang ada murid yang membaca dan menulis
sambil tiduran di atas lantai. Terkadang ada rak buku di pojok kamar untuk
menampung kitab-kitab berbahasa Arab pegon.
Segala kebutuhan santri
dibawa dari rumah, seperti koper, tikar dan bantul, perabot dapur, dan lain
sebagainya. Sedangkan santri yang berasal dari keluarga mampu, mereka memiliki
kasur dan bantal yang agak mewah yang ditutupi dengan seprei. Sajadah menjadi
barang wajib dalam pondok. Baju bergantungan di sana-sini, jas, baju kokoh,
kemeja, kopiah, dan di dekat pintu terdapat sandal jepit atau terompah. Ada
beberapa kotak kecil yang disimpan di dapur di belakang asrama yang biasanya
diterangi satu atau dua buah lampu.
Satu kamar biasanya diisi
8-10 santri sehingga terasa sempit dan pengap. Namun, hal itu tidak menjadi
masalah karena sebagian besar di antara mereka ketika mengulang pelajaran tidak
berada dalam kamar. Mereka pergi ke masjid atau mushalla yang terletak di
tengah-tengah kompleks pondok. Selain itu santri biasanya juga bersantai atau
sekadar tiduran di masjid.
Setiap pesantren punya
santri senior yang diserahi tanggung jawab untuk mengatur keamanan dan
kedisiplinan pondok. Kriteria santri senior ini berdasarkan lamanya tinggal di
dalam pondok. Biasanya mereka tinggal di asrama yang berbeda dengan kondisi
yang lebih bersih dan teratur. Di Jawa, santri senior ini biasa disebut lurah
pondok.
Sedangkan di dapur
biasanya terdapat satu dua buah tungku dari batu bata, periuk nasi, kendi,
nampan, cawan, tempayan, gentong, dan alat keperluan dapur lainnya. Sedangkan
di pondok yang sedikit lebih maju, dapur dilengkapi dengan ikan, daging, dan
botol-botol atau kaleng-kaleng yang berisi bumbu-bumbu. Mereka yang bertanggung
jawab atas kedisiplinan santri di dapur ini biasa disebut lurah dapur.
Di depan pondok biasanya
ada gerbang yang besar sebagai pintu keluar masuk santri. Untuk itu, pondok
biasanya memiliki peraturan dan disiplin yang harus ditaati, kapan dibolehkan
keluar pondok, yang ditulis dan ditempelkan di dinding asrama untuk
kemaslahatan bersama. Pengumuman itu ditulis dalam aksara Arab pegon.
Meski demikian, susunan
perumahan di pondok-pondok itu tergantung kegiatan dan kebijakan guru. Selain
masjid, pesantren juga memiliki aula sebagai tempat untuk mengulang pelajaran,
pertemuan santri, atau untuk mendengar arahan dan ceramah dari Kyai.
***
Dr. C. Snouck Hurgronje
itu hanya melihat pondok secara fisik—letak, gedung, dan bahan bangunan pondok.
Dia memasuki kamar-kamar santri, berkeliling dapur, dan melihat lemari-lemari
santri. Dia menulis semua itu dengan maksud mengajak khalayak publik untuk
menilai dan menyimpulkan apa yang dia lihat.
Kalau hanya melihat
bentuk fisik pondok, maka benar apa yang sudah kami sampaikan. Jangan sampai
melihat sesuatu itu seperti monyet makan manggis. Sebelum buah manggis digigit,
buah itu dilihat beruang kali, dibau, dicium, dan diletakkan. Kemudian, diambil
lagi. Begitu diulang sampai beberapa kali, akhirnya digigit. Bagaimana rasanya?
Kulit manggis itu terasa pahit dan bercampur dengan getah. Tentu, monyet itu
akan meletakkannya. Dia mengira, manggis itu rasanya pahit. Setelah melakukan
observasi, monyet itu menyimpulkan manggis terasa pahit. Sebelum dia merasakan
manisnya buah manggis, dia sudah membuang buah manggis tersebut.
Itulah penelitian yang
dilakukan oleh Dr. C. Snouck Hurgronje. Dia hanya melihat dan meneliti pondok
pesantren dari sudut pandang fisiknya. Tidak melihat dari kegiatan, pendidikan,
dan pengajaran yang ada dalam pondok.
Secara historis,
berdirinya pondok itu berawal dari sosok seorang Kyai. Dia adalah orang yang
alim dengan ilmu agama. Dia punya hasrat untuk menyebarkan ilmunya. Kemudian,
dia mencari tempat yang cocok untuk mendirikan masjid atau surau. Orang-orang
yang hendak menimba ilmu mendatangi orang alim tersebut.
Seiring berjalannya
waktu, jumlah santri mulai bertambah. Saat itu rumah Kyai tidak bisa menampung
para santri. Karena itu, mereka mendirikan asrama sebagai tempat tinggal di
sekitar masjid dan di dekat rumah Kyai. Asrama-asrama itu ada yang sifatnya
sementara, ada juga yang sifatnya permanen. Karena sering dipergunakan, maka
dilakukan perbaikan-perbaikan.
Dari tahun ke tahun,
tempat itu menjadi masyhur dan dibanjiri santri-santri dari berbagai daerah.
Secara otomatis, asrama-asrama santri bertambah sampai menjelma menjadi
perkampungan. Ketika santri sudah tamat belajar atau karena satu hal harus
pulang ke kampung halaman, asrama-asrama itu tidak dibongkar, tetapi
dimanfaatkan oleh santri yang baru datang.
Boleh dibilang,
asrama-asrama itu sudah diwakafkan untuk santri-santri yang lain. Karena santri
datang dan pergi silih berganti, asrama itu pun diperbaiki sesuai dengan
kebutuhan santri. Kompleks perkampungan santri inilah yang kemudian disebut
sebagai pesantren.
Pada zaman dahulu,
pesantren atau padepokan mendapat apresiasi yang luar biasa dari pemerintah dan
raja-raja Jawa. Mereka dibebaskan dari pajak, upeti, dan beban iuran kepada
negara. Perkampungan itu disebut “Desa Perdikan” atau Kampung yang Merdeka. Di
berbagai daerah, nama itu bisa berbeda-beda—di Madura disebut Penyantren, di
Sunda disebut Pondok, di Aceh disebut Rangkang Meunasah, di Minangkabau disebut
Surau.
Untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, para santri membawa bekal dari rumah masing-masing. Tentu
disesuaikan dengan kemampuan mereka, ada yang membawa bekal untuk dua-tiga
bulan, satu bulan, atau untuk kebutuhan selama satu-dua minggu. Jelas, santri
itu pulang pergi dari pondok ke kampungnya. Ada yang mencari bekal dulu selama
satu-dua minggu, kemudian kembali lagi ke pondok untuk belajar. Demikianlah
belajar di pondok pada zaman dahulu.
Jadi, yang mendirikan
pondok itu santri bukan Kyai. Bukan Kyai yang menggali sumur untuk kebutuhan
para santri, dan bukan Kyai yang menyediakan asrama-asrama santri. Oleh karena
itu, sudah hal yang biasa kalau ada dipan dalam asrama, dan hal yang biasa
kalau santri hanya memiliki selembar tikar.
Bagi yang mampu, sah-sah
saja membawa ranjang besi, kasur, dan bantal dari kampungnya sehingga corak dan
ragam kehidupan di pesantren bisa bermacam-macam. Dengan begitu, santri bisa
fokus belajar di bidang ilmu yang dia minati. Adapun tempat, pakaian, makan dan
minum itu hal kecil bagi santri.