Rabu, 09 Mei 2018

Pendiri Pondok Pesantren Modern As-Salam







KH. Abbas Nawawi
(Alumni Gontor 1964)



KH. Abdullah Nawawi
(Alumni Gontor 1966)



KH. Drs. Syuaib Nawawi, M.Pd.I
(Alumni Gontor 1968)

Sejarah Singkat Pondok Pesantren Modern As-Salam




Secara historis, keberadaan Pondok Pesantren Modern As-Salam ini bermula dari keprihatinan Mbah Imam Puro, sesepuh desa Bangsal, melihat kondisi masyarakat waktu itu yang jauh dari kehidupan agama.
Kemudian, beliau berinisiatif mendirikan mushalla sebagai tempat ibadah sekaligus menanamkan ajaran-ajaran Islam. Dakwah itu dilanjutkan putra beliau, Mbah H. Abdus Salam beserta istrinya Hj. Masrurah. Mereka memiliki harapan yang mulia agar kelak bisa mendirikan pesantren.
Untuk mewujudkan wasiat orangtua, KH. Abbas Nawawi (alumni  Gontor 1964), Almarhum KH. Abdullah Nawawi (alumni  Gontor 1966), dan KH. Drs. Syuaib Nawawi, M.Pd.I (alumni  Gontor 1968), serta dibantu saudara-saudaranya bersepakat untuk mendirikan Pondok Pesantren Modern As-Salam (PPM As-Salam) tahun 2002. Setahun kemudian (2003), berdirilah SMP Islam As-Salam dan menerima santri baru.
Kemudian pada tahun 2015, PPM As-salam mendirikan MA Grafika As-Salam, pendidikan berbasis pesantren yang berkonsentrasi di bidang penulisan dan desain grafis.
Secara bahasa, grafika berarti segala bentuk pengungkapan dalam bentuk huruf, tanda, dan gambar yang diperbanyak melalui proses percetakan atau digital guna disampaikan ke publik.
Bisa dibilang, grafika berkaitan dengan penerbitan, percetakan, dan desain grafis. Untuk mencetak sesuatu, pasti ada naskah yang dicetak, baik berupa buku, komik, majalah, koran, dan lain sebagainya. Sebelum dicetak, pasti melibatkan desainer agar hasil cetakannya bagus dan elegan. Di sinilah karya seni dan karya tulis bertemu.
Intinya, grafika mendidik untuk menjadi penulis, editor, desainer grafis, dan tahu betul dunia penerbitan dan percetakan. Apalagi perkembangan antara industri buku dan industri film saat ini saling memperkuat satu sama lain. Ada banyak sekali buku yang diterbitkan dan kemudian difilmkan. Ini menunjukkan bahwa cakupan grafika sangat luas, prospektif, dan menjanjikan.

Mengenal Lebih Dekat Pondok Pesantren




Pertama-tama yang harus dipahami terlebih dahulu, apa itu pondok pesantren, siapa yang punya, apa isinya, bagaimana kehidupan di dalamnya, mengapa demikian, apa partainya, ke mana nanti sesudah lulus, dan lain sebagainya.
Semua ini sangat penting untuk diketahui agar tidak salah alamat dan salah sambung. Tidak menanyakan gulai atau sate di toko buku, tidak memancing udang di pematang sawah. Karena gulai dan sate biasa dijual di warung-warung nasi, buku dijual di toko-toko buku, sedangkan udang hanya ada di sungai dan lautan.
Mempelajari sesuatu yang tidak pada tempatnya dapat kita katakan salah alamat atau salah sambung. Mempelajari dan meneliti sesuatu itu sangat penting agar tidak keliru, kecele, dan ragu. Jangan seperti orang buta meraba gajah. Jangan seperti monyet makan manggis.
Karena itu, jangan melihat dari satu sudut pandang saja. Jangan merasakan pedas dan manisnya saja saat mencicipi masakan. Jangan seperti orang yang naik kereta api, bersorak-sorai ketika kereta berangkat. Jangan seperti orang melihat hutan, tetapi tertutup oleh satu pohon. Jangan seperti orang yang numpang kendaraan, tetapi tidak tahu arah, jarak yang ditempuh, dan tujuannya.
Mungkin Anda tidak mau tahu dan masa bodoh, tetapi alangkah baiknya kalau mengetahui apa itu pondok pesantren sehingga Anda mendapat gambaran akan menjadi apa siswa di sana. Jadi, perkenalan itu penting.
Secara faktual, banyak orang yang salah paham terhadap Pondok Modern sehingga sesat dan menyesatkan. Sebagian ada yang mengira bahwa Pondok Modern itu lebih modern dalam pemahaman agama, Pondok Modern banyak mementingkan pelajaran agama daripada ilmu umum, atau sebaliknya.
Ada juga yang bilang, Pondok Modern hanya mementingkan budi pekerti dan bahasa asing, gedungnya bagus-bagus dan megah, dan suasana kepesantrenannya hanya tampak di bulan Ramadhan.
Semua pendapat ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya atau dibenarkan sepenuhnya. Untuk mengetahui apa itu Pondok Modern, maka diadakan pekan perkenalan. Yang jelas, kami sudah mengikrarkan, “Semua yang ada di pondok pesantren itu untuk perbaikan.” In uridu illal ishlah.
Segala sesuatu yang ada dalam Pondok Modern ini harus berisi pendidikan, latihan, dan pengajaran. Semua pendidikan dan pengajaran di Pondok Modern harus selalu menyesuaikan dengan kebutuhan umat—kebutuhan masyarakat 10-20 tahun mendatang. Semua itu dipersiapkan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan amanah dan kewajiban kepada Allah.
Semoga dengan pekan perkenalan ini, hilanglah rasa ragu, kemudian tumbuh kepercayaan dalam hati. Dengan demikian, lahirlah rasa cinta dan ikhlas yang mendalam terhadap apa saja yang dilakukan Pondok Modern.
Orang di luar pondok pesantren sering salah menjelaskan apa pengertian pondok dan kekeliruan orang luar memaknai sebuah pondok. Menurut Dr. C. Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang orientalis berkebangsaan Belanda, pondok itu terdiri dari gedung-gedung persegi empat, biasanya terbuat dari bambu-bambu.
Untuk desa dengan tingkat kesejahteraan yang bagus, tak jarang ditemukan dinding dan tangga pondok terbuat dari jenis kayu yang berkualitas. Karena kebanyakan santri tidak bersepatu dan harus mencuci kaki sebelum masuk ke asrama, maka dibuatlah titian dari batu yang menghubungkan antara sumur dengan asrama. Untuk pondok yang lebih sederhana biasanya hanya terdiri dari satu ruangan besar yang menjadi bangsal bagi santri.
Sedangkan untuk pondok yang lebih besar, biasanya terdiri dari deretan kamar-kamar kecil yang saling berhadapan, di tengah-tengahnya ada gang, kamar-kamarnya kecil dan sempit sehingga ketika memasuki kamar harus menundukkan kepala. Jendelanya pun kecil-kecil dengan hiasan teralis kayu.
Demikian pula perabotan dalam kamar, sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu tergantung tikar yang terbuat dari pandan atau rotan, dampar yang di atasnya disusun kitab-kitab klasik, pena dan tempat tinta yang terbuat dari kuningan atau botol biasa. Jika seorang murid hendak mengerjakan tugas sekolah, mereka duduk bersila di atas tikar sambil menghadap ke jendela. Terkadang ada murid yang membaca dan menulis sambil tiduran di atas lantai. Terkadang ada rak buku di pojok kamar untuk menampung kitab-kitab berbahasa Arab pegon.
Segala kebutuhan santri dibawa dari rumah, seperti koper, tikar dan bantul, perabot dapur, dan lain sebagainya. Sedangkan santri yang berasal dari keluarga mampu, mereka memiliki kasur dan bantal yang agak mewah yang ditutupi dengan seprei. Sajadah menjadi barang wajib dalam pondok. Baju bergantungan di sana-sini, jas, baju kokoh, kemeja, kopiah, dan di dekat pintu terdapat sandal jepit atau terompah. Ada beberapa kotak kecil yang disimpan di dapur di belakang asrama yang biasanya diterangi satu atau dua buah lampu.
Satu kamar biasanya diisi 8-10 santri sehingga terasa sempit dan pengap. Namun, hal itu tidak menjadi masalah karena sebagian besar di antara mereka ketika mengulang pelajaran tidak berada dalam kamar. Mereka pergi ke masjid atau mushalla yang terletak di tengah-tengah kompleks pondok. Selain itu santri biasanya juga bersantai atau sekadar tiduran di masjid.
Setiap pesantren punya santri senior yang diserahi tanggung jawab untuk mengatur keamanan dan kedisiplinan pondok. Kriteria santri senior ini berdasarkan lamanya tinggal di dalam pondok. Biasanya mereka tinggal di asrama yang berbeda dengan kondisi yang lebih bersih dan teratur. Di Jawa, santri senior ini biasa disebut lurah pondok.
Sedangkan di dapur biasanya terdapat satu dua buah tungku dari batu bata, periuk nasi, kendi, nampan, cawan, tempayan, gentong, dan alat keperluan dapur lainnya. Sedangkan di pondok yang sedikit lebih maju, dapur dilengkapi dengan ikan, daging, dan botol-botol atau kaleng-kaleng yang berisi bumbu-bumbu. Mereka yang bertanggung jawab atas kedisiplinan santri di dapur ini biasa disebut lurah dapur.
Di depan pondok biasanya ada gerbang yang besar sebagai pintu keluar masuk santri. Untuk itu, pondok biasanya memiliki peraturan dan disiplin yang harus ditaati, kapan dibolehkan keluar pondok, yang ditulis dan ditempelkan di dinding asrama untuk kemaslahatan bersama. Pengumuman itu ditulis dalam aksara Arab pegon.
Meski demikian, susunan perumahan di pondok-pondok itu tergantung kegiatan dan kebijakan guru. Selain masjid, pesantren juga memiliki aula sebagai tempat untuk mengulang pelajaran, pertemuan santri, atau untuk mendengar arahan dan ceramah dari Kyai.
***
Dr. C. Snouck Hurgronje itu hanya melihat pondok secara fisik—letak, gedung, dan bahan bangunan pondok. Dia memasuki kamar-kamar santri, berkeliling dapur, dan melihat lemari-lemari santri. Dia menulis semua itu dengan maksud mengajak khalayak publik untuk menilai dan menyimpulkan apa yang dia lihat.
Kalau hanya melihat bentuk fisik pondok, maka benar apa yang sudah kami sampaikan. Jangan sampai melihat sesuatu itu seperti monyet makan manggis. Sebelum buah manggis digigit, buah itu dilihat beruang kali, dibau, dicium, dan diletakkan. Kemudian, diambil lagi. Begitu diulang sampai beberapa kali, akhirnya digigit. Bagaimana rasanya? Kulit manggis itu terasa pahit dan bercampur dengan getah. Tentu, monyet itu akan meletakkannya. Dia mengira, manggis itu rasanya pahit. Setelah melakukan observasi, monyet itu menyimpulkan manggis terasa pahit. Sebelum dia merasakan manisnya buah manggis, dia sudah membuang buah manggis tersebut.
Itulah penelitian yang dilakukan oleh Dr. C. Snouck Hurgronje. Dia hanya melihat dan meneliti pondok pesantren dari sudut pandang fisiknya. Tidak melihat dari kegiatan, pendidikan, dan pengajaran yang ada dalam pondok.
Secara historis, berdirinya pondok itu berawal dari sosok seorang Kyai. Dia adalah orang yang alim dengan ilmu agama. Dia punya hasrat untuk menyebarkan ilmunya. Kemudian, dia mencari tempat yang cocok untuk mendirikan masjid atau surau. Orang-orang yang hendak menimba ilmu mendatangi orang alim tersebut.
Seiring berjalannya waktu, jumlah santri mulai bertambah. Saat itu rumah Kyai tidak bisa menampung para santri. Karena itu, mereka mendirikan asrama sebagai tempat tinggal di sekitar masjid dan di dekat rumah Kyai. Asrama-asrama itu ada yang sifatnya sementara, ada juga yang sifatnya permanen. Karena sering dipergunakan, maka dilakukan perbaikan-perbaikan.
Dari tahun ke tahun, tempat itu menjadi masyhur dan dibanjiri santri-santri dari berbagai daerah. Secara otomatis, asrama-asrama santri bertambah sampai menjelma menjadi perkampungan. Ketika santri sudah tamat belajar atau karena satu hal harus pulang ke kampung halaman, asrama-asrama itu tidak dibongkar, tetapi dimanfaatkan oleh santri yang baru datang.
Boleh dibilang, asrama-asrama itu sudah diwakafkan untuk santri-santri yang lain. Karena santri datang dan pergi silih berganti, asrama itu pun diperbaiki sesuai dengan kebutuhan santri. Kompleks perkampungan santri inilah yang kemudian disebut sebagai pesantren.
Pada zaman dahulu, pesantren atau padepokan mendapat apresiasi yang luar biasa dari pemerintah dan raja-raja Jawa. Mereka dibebaskan dari pajak, upeti, dan beban iuran kepada negara. Perkampungan itu disebut “Desa Perdikan” atau Kampung yang Merdeka. Di berbagai daerah, nama itu bisa berbeda-beda—di Madura disebut Penyantren, di Sunda disebut Pondok, di Aceh disebut Rangkang Meunasah, di Minangkabau disebut Surau.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, para santri membawa bekal dari rumah masing-masing. Tentu disesuaikan dengan kemampuan mereka, ada yang membawa bekal untuk dua-tiga bulan, satu bulan, atau untuk kebutuhan selama satu-dua minggu. Jelas, santri itu pulang pergi dari pondok ke kampungnya. Ada yang mencari bekal dulu selama satu-dua minggu, kemudian kembali lagi ke pondok untuk belajar. Demikianlah belajar di pondok pada zaman dahulu.
Jadi, yang mendirikan pondok itu santri bukan Kyai. Bukan Kyai yang menggali sumur untuk kebutuhan para santri, dan bukan Kyai yang menyediakan asrama-asrama santri. Oleh karena itu, sudah hal yang biasa kalau ada dipan dalam asrama, dan hal yang biasa kalau santri hanya memiliki selembar tikar.
Bagi yang mampu, sah-sah saja membawa ranjang besi, kasur, dan bantal dari kampungnya sehingga corak dan ragam kehidupan di pesantren bisa bermacam-macam. Dengan begitu, santri bisa fokus belajar di bidang ilmu yang dia minati. Adapun tempat, pakaian, makan dan minum itu hal kecil bagi santri.

Isi, Jiwa dan Masa Depan Pondok Pesantren




Untuk memperoleh pengertian tentang pondok pesantren, kita tidak usah membuat analisa terlalu mendalam (bahasa Jawa: njlimet) dengan meninjau sejarah pondok terlalu jauh sampai ke zaman kuno, membandingkannya dengan sistem pendidikan Mandala dan sebagainya.
Untuk itu, cukuplah kiranya apabila kita memperhatikan perkembangan agama Islam di Tanah Air kita sekitar abad ini, kira-kira 100-200 tahun yang lalu, yaitu pada waktu lembaga yang kita sebut “pondok pesantren” dengan jelas menunjukkan peranannya yang sangat penting dalam syiar agama Islam.
Sudah tentu kita tidak dapat menerima pengertian pondok pesantren sebagaimana definisi yang diberikan oleh para orientalis, misalnya Snouck Hurgrounje, yang hanya memperhatikan bentuk fisik pondok pesantren: gedung dan bentuk asrama para santri dengan segala tradisinya yang statis.
Sebab memang bukan itu hakikat pondok pesantren yang telah banyak memberikan jasa kepada bangsa Indonesia. Ini tidak dapat dipungkiri. Sebagai definisi umum, pondok pesantren adalah berwujud lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama, kyai sebagai sentral figurnya, masjid sebagai titik pusat yang menjiwainya.
Isi Pondok Pesantren
1.            Hakikat pondok pesantren terletak pada isi atau jiwanya, dan bukan pada kulitnya atau luarnya saja. Dalam isi dan jiwanya itulah kita bisa temukan jasa pondok pesantren bagi umat dan bangsa.
2.            Isi pokok pondok pesantren adalah pendidikan. Selama beberapa abad pondok pesantren telah memberikan pendidikan (ruhaniyah) yang sangat berharga kepada para santri sebagai kader-kader mubalig dan pemimpin umat dalam berbagai bidang kehidupan.
3.            Di dalam pendidikan itulah terjalin jiwa yang kuat yang sangat menentukan filsafat hidup para santri. Adapun pelajaran dan pengetahuan yang mereka peroleh selama bertahun-tahun tinggal di pondok pesantren hanya merupakan kelengkapan atau tambahan.
Jiwa Pondok Pesantren
Kehidupan dalam pondok pesantren dijiwai oleh suasana-suasana yang dapat kita simpulkan dalam Panca Jiwa Pondok sebagai berikut:
1.    Jiwa keikhlasan
Sepi ing pamrih, tidak didorong keinginan untuk memperoleh keuntungan tertentu, semata-mata karena untuk ibadah lillah. Ini meliputi segenap suasana kehidupan di pondok pesantren.
Kyai ikhlas mengajar, para santri ikhlas belajar, lurah pondok ikhlas membantu. Segala gerak-gerik dalam pondok pesantren berjalan dalam suasana keikhlasan yang mendalam. Dengan demikian, terdapat suasana hidup yang harmonis antara kyai yang disegani dan santri yang taat dan penuh cinta serta hormat.
2.    Jiwa Kesederhanaan
Kehidupan dalam pondok diliputi suasana kesederhanaan, tetapi agung. Sederhana bukan berarti pasif  (bahasa Jawa: Narimo), bukan itu artinya dan bukan karena kemelaratan atau kemiskinan, tetapi mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan.
Maka di balik kesederhanaan itu, terpancarlah jiwa besar, berani maju terus dalam menghadapi perjuangan hidup dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah tumbuh mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi suksesnya perjuangan dalam segala segi kehidupan.
3.    Jiwa Berdikari
Inilah senjata hidup yang ampuh. Berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri bukan saja dalam arti bahwa santri selalu belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi juga pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan dan belas kasihan orang lain.
Itulah zelf berdruiping system atau sama-sama memberikan iuran dan sama-sama dipakai. Namun tidak bersikap kaku dan menolak orang-orang yang hendak membantu pondok, membela pondok. Justru pondok perlu dibela, dibantu dan diperjuangkan. Siapa lagi yang mau membela, membantu dan memperjuangkan kalau bukan kita umat Islam.
4.    Jiwa Ukhuwah Islamiyah
Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab sehingga segala kesenangan dirasakan bersama, dengan jalinan perasaan-perasaan keagamaan. Tali ukhuwah persaudaraan ini bukan hanya selama di pondok pesantren, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan umat dalam masyarakat sepulang dari pondok.
5.      Jiwa Bebas
Bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depannya, dalam memilih jalan hidup di tengah masyarakat kelak, dengan berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi kesulitan. Kebebasan itu bahkan sampai pada bebas dari pengaruh kolonial asing. Di sinilah harus dicari kenapa pondok pesantren mengisolir diri dari kehidupan barat yang dibawa oleh penjajah.
Hanya saja dalam kebebasan ini sering kali kita temui unsur-unsur negatif, yaitu apabila kebebasan itu disalahgunakan, terlalu bebas sehingga kehilangan arah dan tujuan atau prinsip. Ada pula yang terlalu bebas, tidak mau dipengaruhi, berpegang teguh kepada tradisi yang dianggap sakral sehingga tidak mau melihat di sekitarnya dan perubahan zaman.
Akhirnya tidak bebas lagi karena mengikatkan diri pada yang diketahui itu saja alias kolot. Maka kebebasan itu harus dikembalikan pada aslinya, yaitu bebas di dalam batas-batas disiplin yang positif, dengan penuh tanggung jawab, baik di dalam kehidupan pondok pesantren maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Jiwa bebas yang menguasai suasana kehidupan dalam pondok pesantren itulah yang dibawa oleh santri sebagai bekal pokok dalam kehidupannya di tengah masyarakat. Jiwa pondok pesantren inilah yang harus senantiasa dipegang, dihidupkan, dipelihara dan dikembangkan sebaik-baiknya.
Masa Depan Pondok Pesantren
Sebagian besar atau mayoritas pondok pesantren pada masa lalu biasanya lebih banyak mengagung-agungkan kebesaran lama pada abad-abad lampau sehingga menjadi statis. Hal ini hanya boleh berlaku pada masa-masa bertahan terhadap himpitan tekanan penjajahan yang berusaha menghancurkan pondok pesantren dan agama Islam.
Ketika itu, pondok pesantren dalam keadaan lemah tak berdaya untuk berkonfrontasi total melawan penjajah. Pada masa kemerdekaan, lebih-lebih pada masa revolusi yang selalu meningkat sekarang ini, pondok pesantren harus memandang jauh ke masa depan, sepuluh, dua puluh tahun yang akan datang.
Mengingat perkembangan zaman yang senantiasa maju dan berubah-ubah, maka seharusnya pelajaran dalam pondok pesantren diselenggarakan untuk masa depan kehidupan para santri di dalam masyarakat, dengan menggunakan didaktik dan metodik yang menguntungkan pula. Meski demikian, kita tidak usah mengubah inti pendidikan keagamaan dan jiwa pondok pesantren di atas.
Jika dikehendaki, pondok pesantren dapat terus mempertahankan kehidupannya, maka syarat-syarat material harus diperhatikan. Untuk itu, harus ada wakaf yang menjadi backing bagi kelangsungan hidup pondok pesantren dan untuk dapat senantiasa meninggikan mutu pendidikan dan pengajarannya. Sebagai contoh, kita perhatikan bagaimana Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir mengembangkan wakafnya.
Satu hal lagi yang sering kali dilupakan pondok pesantren pada masa lampau, yaitu pembentukan kader, generasi atau penerus untuk kelanjutan dan kelangsungan hidup pondok pesantren. Hidup matinya sosok kyai atau pemimpin pondok pesantren merupakan kelangsungan hidup suatu pondok pesantren.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, tiap-tiap pondok pesantren harus menyiapkan kader-kader yang akan menggantikan dan mengembangkan usaha dan apa yang dirintis oleh generasi tua. Dengan demikian, pondok pesantren akan tetap terus hidup dan berkembang, meskipun kyai-kyainya telah berulang kali berganti.
Apabila disetujui dapat dipikirkan kiranya untuk mengorganisir penyelenggaraan pondok pesantren sebaik-baiknya, dengan manajemen serapi mungkin. Ini sebenarnya hanya merupakan perumusan dari tradisi pondok pesantren yang sudah lama berlaku ke dalam tata laksana pendidikan pondok pesantren yang lebih baik dan teratur.
Jadi, segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pondok pesantren akan dapat diatur sebaik-baiknya dan seefisien mungkin, termasuk di dalamnya tentang batas-batas hak dan kewajiban kyai, ustadz, para santri, dan pondok pesantren itu sendiri. Ini lebih menjamin kelangsungan hidup, keselamatan dan perkembangan pondok pesantren di masa mendatang.