Rabu, 14 November 2012

Anak-anak Langit



DATA BUKU
Judul                : Anak-Anak Langit
Penulis             : Mohd Amin MS
Editor              : Wiyanto Suud
Penerbit           : Alvabet
Genre              : Novel
Cetakan           : I, Juli 2011
Ukuran            : 13 x 20 cm (flap 8 cm)
Tebal               : 508 halaman
ISBN               : 978-602-9193-04-6
Harga             : Rp. 69.900,-

Anak-Anak Langit adalah kisah menakjubkan tentang anak-anak rantau di pesantren modern binaan pemerintah di Koto Baru, sebuah kawasan sejuk di kaki Gunung Singgalang dan Gunung Merapi di Padang Panjang. Anak-anak penuh bakat ini sejak awal dijanjikan bakal menerima pendidikan unggul yang akan menempa mereka menjadi ulama, pemimpin, dan manusia berguna di masa depan.

Namun, sistem dan praktik pendidikan yang dijanjikan itu hanyalah bumbu harapan yang tak serasa dengan kenyataan. Bagaimana “anak-anak langit” itu mengatasi rasa putus asa mereka menghadapi keadaan yang jauh dari harapan? Bagaimana pula mereka dapat terus memelihara impian-impian mereka untuk meraih kesuksesan di masa depan?

Terinspirasi kisah nyata, novel ini mampu menggambarkan dengan baik kisah unik kehidupan remaja dalam menggapai cita-cita mereka. Sebagaimana novel Melayu lainnya, narasi-narasi yang berpadu peribahasa dan metafora merupakan kekuatan utama novel ini.

Belajar dari [Selangkang] Syaikh Puji

Oleh Wiyanto Suud
Kebenaran adalah Tuhan (Mahatma Gandhi)
Berita tentang kelahiran, pernikahan, dan kematian selalu menjadi kabar yang menyerap perhatian, meskipun hal itu perkara lumrah dan terjadi berulang-ulang. Kelahiran menjadi musim memetik hasil panen dari rahim kasih sayang ibu. Pernikahan merupakan momen bercocok tanam, menabur benih, menyiangi, jauh dalam naluri keibuan. Dan kematian sebagai periode kembali ke selangkang ibu pertiwi.
Bisa jadi peradaban umat manusia adalah peradaban selangkang. Sehingga jangan heran, setiap berita, cerita, dan tragedi seputar selangkang menjadi bahan yang selalu menarik dibicarakan, diperdebatkan, dikambinghitamkan, bahkan dinikmati sekaligus.
Ada seorang sahabat bertanya tentang pornografi untuk dijadikan judul skripsi. Aku tidak rekomendasi, karena UU Pornografi masih kontroversi. Gak ada rujukan yang kuat, pada ujungnya hanya berkutat debat kusir tentang definisi. Definisi tentang eksploitasi terhadap selangkang.
Ada seorang kawan bertanya tentang pernikahan Syaikh Puji. Aku jawab normatif aja, ya... kalau menurut hukum positif sih gak boleh, karena batas umur minimal 16 tahun. Sedangkan agama membolehkan karena ukurannya hanya akil balig. Lalu ia bertanya mana yang benar, aku katakan benar dua-duanya. Dia malah tambah bingung. Ehm... lagi-lagi selangkang.
Komnas HAM dan perlindungan anak, mendesak Syaikh Puji untuk membatalkan pernikahannya, karena tindakannya melanggar Undang-Undang, dan sudah dikategorikan tindakan kriminalitas. Bagi mereka yang pro dengan Komnas HAM menganggap bahwa umur 12 tahun adalah masa bermain bagi anak-anak, tidak layak untuk masuk kehidupan orang dewasa. Memang bisa dimaklumi, mainnya orang dewasa itu lebih berbahaya daripada permainan anak-anak. Permainan orang dewasa bisa berdampak destruktif, dan anak-anak hanya sekedar onani, untuk kepuasan diri.
Ada rekan di kantor curiga, jangan-jangan Syaikh Puji seorang pedofilis, yang bersembunyi di balik kedok doktrin teologi. Bagi dia seorang yang berpegang teguh dengan tali agama secara kaku adalah orang yang sakit (patologi). Hidup dalam doktrinal, tidak luwes, layaknya mesin atau robot. Bagi dia Syaikh Puji adalah salah satunya.
Baik yang pro maupun kontra dengan isu ini, sebenarnya mempunyai logika yang sama, melihat fenomena sosial oposisional. Hitam putih, benar salah, baik buruk, tepat keliru, bukannya sebagai darma dalam hirup. Bukankah etika, moral, atau nilai (value), hanya karya cipta, rasa, dan karsa manusia, kalau tidak boleh di bilang akal-akalan manusia.
Sedangkan orang yang menjalankan darma, layak mendapat surga-Nya. menjalan hidup yang ia lalui sebagai takdir ilahi. Bukannya justifikasi atau menghakimi. Kebenaran (baca Interpretasi kebenaran) ada di mana-mana menuju kebenaran-Nya. Karena kebenaran adalah Tuhan. Ia sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi. Dan kebenaran-Nya bisa kita dapatkan dari kedut nadi selangkang kita. Atau kita mau mengambil alih kebenaran atas-Nya.
Jakarta, 3 November 2008

Melancong Menuju Tugu Api Abadi di Tabalong

Oleh Wiyanto Suud
Kalau burung gagak tahu bahwa dirinya buruk, ia akan meleleh seperti salju karena sedih (Jalaluddin Rumi)
Libur catur wulan kedua (cawu II) di awal tahun 2002, membawaku ke pedalaman kampung halaman sahabatku. Perjalananku dari bukit pegunungan (Massenrenpulu) Enrekang Sulawesi Selatan, menuju Tugu Api Abadi di bumi Tabalong Kalimantan Selatan, setidaknya memakan waktu sehari semalam, 1 x 24 jam.
Perjalanan melewati Polmas (Polewali Mamasa), Majene, Mamuju—yang sekarang menjadi Sulawesi Barat dalam pemekaran propinsi di era pemerintahan Megawati—layaknya melalui jalur Pantura, mulai dari Semarang, Tuban, dan Lamongan di pulau Jawa. Kita akan disuguhi dengan pemandangan tepi pantai sepanjang kanan-kiri jalan.
Dari Mamuju, aku harus menaiki kapal Ferry penyeberangan menuju Balikpapan—yang sebenarnya kapal angkutan barang tapi sekaligus dijadikan kapal penumpang—dasar Indonesia. Berlayar di tengah samudra di malam hari, seperti berjalan tak berujung tepi. Berada di tengah kegelapan, hanya ditemani lentera lampu bahtera dan deru suara ombak—berbenturan dengan tubuh kapal, seperti menghantam karang. Dua belas jam—dari jam 18.00 – 06.00—di tengah lautan sudah cukup mengajarkanku tentang arti sepi, makna cahaya, rasa bosan, dan harapan akan kegelapan.
Dari Balikpapan aku naik speed boat selama 15 menit ke Panajem, di sinilah aku mulai menempuh jalur darat menuju Tabalong. Temanku asyik ngobrol dengan penumpang lain dalam bahasa Banjar, aku yang gak ngerti hanya terdiam, tapi ketika ia memerkenankanku dari Jawa, dia mulai menggerutu. Aku tanya apa maksudnya, ternyata ada satu guyonan yang masyhur di Kalimantan tentang logat dan dialek Jawa yang kumiliki. Di Jawa kita banyak menemukan huruf o dalam percakapan dan penggunaan nama, seperti opo, lapo, Soekarno, Soeharto, dan Krocok di muho. Aku mengerutkan dahi dengan kata yang terakhir, apa maksudnya. Kata temanku, artinya ‘mencakar muka’, karena terlalu banyak huruf o, diplesetkan jadi krocok di muho.
Dari kejauhan aku melihat Tugu yang puncaknya selalu menyemburkan api. Tugu ini merupakan nama lain dari Tugu Obor atau Monumen Saraba Kawa. Saraba Kawa dalam bahasa Banjar bermakna serba bisa. Kawa Baucap (mampu berkata), Kawa Manggawi (mampu mengerjakan), dan Kawa Manyandang (mampu memikul). Api Abadi menjadi metafora semangat pantang patah arang.
Seorang filsuf Yunani kuno Heraklitos, memilih api sebagai simbol substansi kehidupan. Mite Prometheus menggambarkan api sebagai yang menghidupkan kehidupan. Karakter api adalah panas dan selalu bergerak bahkan ketika tampak diam. Karakter inilah yang kerap digunakan untuk menyimbolkan sifat dari kehidupan yang sejatinya selalu berada dalam gerakan. Kehangatan juga sering dijadikan indikator adanya kehidupan, bahkan kehangatan hidup itu sendiri bisa merupa hasrat atau cinta.
Burung phoenix (baca: finiks), burung api mistik, banyak diceritakan dalam mitologi di beberapa negara besar dunia, seperti Mesir, Libanon, Yunani, Cina, sampai Jepang. Aku ingat, sepeda jengki yang kumiliki dulu, sebagai hadiah sunatan, bermerek Phoenix buatan RRC (Republik Rakyat Cina), yang di tempatku terkenal dengan sepeda RRT (Republik Rakyat Tionghoa—peny.).
Phoenix sering dijadikan simbol dari kebangkitan, keabadian, dan kelahiran kembali (rebirth). Ketika kita menghadapi kemalangan, keterpurukan, kita butuh bangkit kembali untuk melanjutkan kehidupan kita. Jika tidak, kita akan semakin memperparah kondisi kehidupan kita. Kita akan terus menderita. Inilah nilai dari suatu kebangkitan yang disimbolkan oleh phoenix.
Pertanyaan keluarga sahabat yang membuatku tercengang adalah tentang pandangan dan anggapanku tentang Kalimantan, yang dikiranya orang-orang sana masih distereotypekan kanibal, dan uncivilized. Mungkin mereka tidak tau, kalau sebenarnya aku gak jauh beda, sama katronya dengan mereka, mereka hanya tahu kalau Jawa lebih maju, orang jawa lebih beradab daripada suku pedalaman. Rupa-rupanya, masa 32 tahun orde baru, sudah cukup untuk menancapkan nilai-nilai dan hegemoni Jawa di tanah air ini.
Padahal setiap peradaban memiliki sisi gelapnya. Mungkin Rumi benar, Kalau burung gagak tahu bahwa dirinya buruk, ia akan meleleh seperti salju karena sedih. Semoga jawanisasi tidak menghancurkan mereka lebur, sehingga bisa bangkit kembali. Tugu Api Abadi di Tabalong setidaknya menjadi bukti simbolik semangat itu, semangat zaman yang tak pernah lekang, semangat zaman baru (zetgeits).

Ziarah ke Gua Londa

Oleh Wiyanto Suud
Stratifikasi kasta yang terbawa sampai mati.
Aku sangat beruntung mempunyai kesempatan untuk mengunjungi sekaligus menziarahi pemakaman alam Gua Londa di Tana Toraja, sekitar pertengahan tahun 2001 beberapa waktu yang lalu. Berpetualang untuk menghilangkan kepenatan setelah selama catur wulan (cawu) bergelut dengan siswa-siswiku
Gua Londa terletak di desa Sandan Uai, Sanggalangi, berjarak sekitar 7 km ke arah selatan kota Rantepao, ibu kota Kabupaten Tana Toraja. Kota yang terakhir ini gagal aku kunjungi, dan aku masih merindukan untuk bisa ke sana suatu saat nanti, dengan orang yang ku kasihi.
Sebelum memasuki gua, aku menemukan puluhan replikasi patung orang yang dikuburkan di dalam gua. Penduduk pribumi menyebutnya dengan tau-tau.. Kompleks pemakaman ini diperkirakan telah berumur ratusan tahun. Di dalamnya terdapat puluhan peti jenazah yang menyimpan jasad para tokoh dan bangsawan setempat. Seorang guide yang bersamaku menyebutnya dengan erong.
Keturunan bangsawan peti mayatnya diletakkan pada posisi lebih tinggi. Semakin tinggi peti matinya berarti semakin tinggi pula derajatnya. Posisi peti ini ada yang menyuruk ke dalam bagian gua yang gelap atau terselip di celah dinding gua yang terjal. Ternyata stratifikasi kasta pun bisa juga dibawa sampai mati.
Aku jadi teringat dengan seorang Guru Zen Hakuin dari Jepang. Ia hidup bertetangga dengan keluarga yang mempunyai usaha rumah makan. Tiba-tiba, tanpa dikabarkan sebelumnya, orang tua gadis tersebut mengetahui kalau anaknya hamil di luar nikah.
Kejadian ini membuat orang tua gadis marah. Sedangkan anak perempuannya tidak mau mengakui siapa yang menghamilinya. Sang gadis pun dipaksa untuk mengakui siapa ayah dari jabang bayi dalam kandungannya. Akhirnya ia menyebutkan nama Guru Zen Hakuin.
Dengan kesumat orang tua gadis menemui sang Guru. “Apakah memang demikian?” jawaban pendek sang Guru. Kejadian ini mencemarkan nama baik sang Guru, yang sudah lama menjalankan kehidupan suci.
Setelah gadis itu melahirkan, anaknya diserahkan pada Guru Hakuin. Sang Guru yang kehilangan nama baik, tidak menggusarkannya. Ia pun merawat bayi itu dengan selayaknya. Ia membelikan susu dan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh si kecil.
Satu tahun kemudian, si gadis sudah tidak tahan lagi. Ia memberitahukan kepada Ayah dan Ibunya bahwa yang menghamilinya sebenarnya adalah seorang pria yang bekerja di pasar ikan.
Ayah dan Ibu gadis itu dengan segera menemui Guru Zen Hakuin, memohon maaf yang sebesar-besarnya, kemudian memungut kembali bayi yang telah diserahkan kepadanya. Guru Hakuin pun rela memberikannya. Ketika menyerahkan anak tersebut, ia hanya mengucapkan “Apakah memang demikian?”
Kisah ini aku dapatkan dalam buku Daging Zen Tulang Zen, dikumpulkan oleh Pual Reps di tahun 1996, diterbitkan oleh Yayasan Penerbit Karaniya.
Aku jadi gak habis pikir, kenapa pangkat, derajat, kedudukan, atau kasta masih bisa pula dibawa sampai mati. Semakin tinggi peti mati ditempatkan, berarti semakin tinggi pula derajat Kebangsawanannya. “Apakah memang demikian?”

Buku Pintar Wanita-Wanita dalam Al-Qur'an


Judul                           : Buku Pintar Wanita-Wanita dalam         
                                     Al-Qur'an
Penulis                        : Wiyanto Suud 
Penerbit                      : Belanoor
Tanggal terbit             : Maret 2011 
No. ISBN                      : 9786029016017 
Jumlah Halaman         : 364
Berat Buku                  : 350 gram
Ukuran                        : 14 x 20 cm
Harga                          : Rp 42.000,-

“Buku Pintar Wanita-Wanita dalam Al-Qur’an.” Penyejuk bagi jiwa-jiwa yang dahaga, penebar benih-benih kasih peneguh jiwa, dan penawar kemelut hati yang tersakiti. Dilengkapi dengan kisah-kisah inspiratif wanita kesayangan Allah, motivator bagi pejuang-pejuang wanita yang tengah lelah mendaki curamnya problema kehidupan.

Asiyah ra yang hatinya diselimuti kesabaran, yang sangat kokoh meski badai menerpa bahtera rumah tangganya. Khadijah ra seorang pengusaha wanita sukses yang sangat dicintai oleh suami terkasihnya Rasulullah SAW karena kesetiaannya. Aisyah ra istri tercinta Rasulullah SAW yang sangat cerdas dan dermawan laksana lentera penerang di tengah gelapnya ketidaktahuan. Simak rahasia keindahan akhlak dan kesuksesan mereka dan wanita-wanita teladan lainnya dalam lembaran-lembaran hikmah buku ini.

­­­
________________________________________________________

Dapatkan diskon 15% untuk pembelian 1 buku (jadinya Rp 35.700,-), diskon 20% untuk pembelian 5 buku (jadinya Rp 168.000,-), diskon 25% untuk pembelian 10 buku (jadinya Rp 315.000,-) melalui akun "Wiyanto Suud" (belum termasuk ongkos kirim). Untuk tarif pengiriman silakan cek http://www.posindonesia.co.id/home/tarifdn.php Kirim pesan pemesanan dan alamat yang dituju di INBOX saya. Buku akan dikirim melalui Pos/Tiki. Pembayaran melalui transfer ke rekening:

BCA KCP Mojosari
No Rekening: 6140235251
a.n. Wiyanto Su’ud

Atau

Muamalat Capen Mojokerto
No Rekening : 0137819861
a.n. Wiyanto Su’ud





Budaya Malu

Oleh Wiyanto Suud

Tulisan ini dimuat di Majalah Gontor, Rubrik Mahfuzhat, edisi Oktober 2012

Seseorang akan hidup dengan baik, selama memiliki rasa malu
Dan batang pohon akan tetap segar, selama ada kulitnya

Demi Allah, tiada kebaikan dalam hidup
Dan tiada arti dunia, bila malu telah sirna

Jika kau tidak takut dengan siksa akhirat
Dan tidak malu, maka perbuatlah sesukamu

—Abu Tamam (w 231 H)

Selama ini, mungkin kita sering mendengar atau mengelu-elukan kalau Indonesia ini negeri yang sangat subur, negeri yang sangat kaya akan SDA, bahkan tongkat ditancapkan saja tumbuh menjadi tanaman. Cak Nun sering mengatakan bahwa seolah-olah surga itu bocor dan turun ke dunia menjadi sepenggal tanah bernama Indonesia.
Karena itu, kita sering mengukur kemajuan atau kesuksesan—baik itu individu, organisasi, maupun bangsa—dengan pendekatan pada sumber daya, tapi menjauhkan dari budaya hidup positif dalam kehidupan sehari-hari. Kekayaan yang melimpah ruah pun menjadi tidak ada artinya karena mental SDM kurang mumpuni. Contoh yang paling sederhana adalah hilangnya budaya malu.
Bisa dibayangkan, jika rasa malu itu telah hilang dalam diri seseorang, segala perilakunya makin sulit dikendalikan. Dia akan melakukan berbagai perbuatan tak terpuji, seperti korupsi, menyontek, menipu, dan lain sebagainya. Hilangnya rasa malu merupakan awal datangnya bencana bagi diri orang yang bersangkutan dan orang lain di sekitarnya.
Jika mau menggali, sebenarnya kita memiliki tradisi rasa malu yang mengakar di tengah masyarakat. Adat Minangkabau mengatakan “Raso jo pareso”. Artinya, rasa malu orang Minangkabau harus tinggi. Dari rasa malu, timbul sikap sopan. Kalau orang Minangkabau tidak lagi memiliki rasa malu, maka hilanglah keminangannya.
Kita juga mengenal budaya “Siri' na pacce” yang menjadi salah satu falsafah budaya masyarakat Bugis. Bagi masyarakat Bugis, siri' mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban. Siri' adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia. Siri' adalah sesuatu yang “tabu” bagi masyarakat Bugis dalam berinteraksi dengan orang lain.
Dalam sebuah mahfuzhat, Abu Tamam membuat perumpamaan seseorang yang tidak memiliki rasa malu itu seperti pohon yang tidak memiliki kulit. Selain sebagai media melakukan fotosintesis, kulit pohon merupakan pelindung batang kayu di dalamnya. Selama masih ada kulitnya, maka pohon itu akan tetap segar dan subur.
Makna kiasnya, seseorang yang tidak memiliki rasa malu sama halnya dia tidak memakai baju. Peradaban mana pun, pasti tidak membenarkan seseorang yang tidak memakai baju berkeliaran di mana-mana. Justru mereka yang memakai baju serba minim, cenderung diidentikkan dengan suku-suku primitif di pedalaman. Jadi, baju adalah simbol peradaban.
Abu Tamam juga mengingatkan:
Jika kau tidak takut dengan siksa akhirat
Dan tidak malu, maka perbuatlah sesukamu
Setidaknya, ada tiga makna yang terkandung dalam bait ini. Pertama, pembolehan. Artinya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihat dan perhatikan. Jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah SWT dan manusia, maka lakukanlah. Sebaliknya, jika tidak, maka tinggalkanlah.
Kedua, penjelasan. Artinya, orang yang tidak memiliki rasa malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi oleh orang-orang yang mempunyai rasa malu. Karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu.
Ketiga, peringatan dan ancaman. Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu—baik di dunia maupun di akhirat.
Jadi, malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak untuk menghias diri dengan akhlak mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina. Malu adalah kebaikan seluruhnya. Karena itu, Abu Tamam mengatakan, Demi Allah, tiada kebaikan dalam hidup. Dan tiada arti dunia, bila malu telah sirna.

Dari Karma ke Darma

Oleh Wiyanto Suud
Tulisan ini dimuat di Jawa Pos, Rubrik di Balik Buku, Minggu, 2 Januari 2011
Jadi editor itu karma. Karena ketika hasil penyuntingan bagus, maka yang dipuji tentunya penulis atau penerjemah. Tapi, ketika hasil penyuntingan jelek, maka yang dicaci biasanya editor, bukan penulis atau penerjemah.
Secara umum, kita sering mengartikan kata karma dengan konotasi negatif dan seram. Kita sering dengar nasihat untuk tidak melakukan suatu kesalahan atau dosa, agar tak kena karma. Kesan yang muncul pun seakan-akan karma itu negatif, hanya ganjaran bagi perbuatan salah. Karma senantiasa dibicarakan sebagai sesuatu yang tidak baik.
Dalam konsep ajaran Agama Budha, istilah karma sangatlah banyak dipergunakan dan keberadaannya sangat lekat dengan kehidupan umatnya. Demikian juga dalam pandangan Agama Hindu, yang sesungguhnya sangat banyak memiliki kemiripan konsep dan ajaran dengan agama Budha. Kedua agama ini menyetarakan makna karma dengan kearifan (wisdom).
Makna karma yang sesungguhnya adalah perbuatan manusia itu sendiri selama hidup di dunia, aksi reaksi dan kontemplasi, atau hukum sebab akibat. Terkadang, keberadaan hukum karma disamakan dengan nasib, bahkan suratan takdir. Di balik itu perlu dipahami bahwa suratan itu ditulis sendiri oleh yang bersangkutan, sama sekali bukan oleh orang atau pihak lain. Kalau perbuatan yang dilakukan baik, ya pasti hasilnya akan baik juga. Kalau yang dilakukan adalah perbuatan yang tidak baik, ya hasilnya juga demikian.
Kita bebas memilih, karena hidup memang pilihan. Tapi kita tidak bebas memilih akibat dari perbuatan itu. Karena sesungguhnya antara perbuatan dan hasilnya tak pernah bisa dipisahkan. Suatu perbuatan itu sudah satu paket dengan hasilnya, bagaikan dua sisi mata uang.
Hukum karma atau lengkapnya disebut dengan hukum karma phala, merupakan hukum aksi reaksi, hukum sebab akibat. Oleh karena ada suatu sebab, maka akan ada suatu akibat. Oleh karena ada satu aksi, akan ada suatu reaksi, dan seterusnya. Hukum inilah yang mengatur kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos, kehidupan di alam semesta dan kehidupan semua makhluk hidup.
Setidaknya ada empat sifat hukum karma, pertama, abadi dan berlaku sepanjang zaman. Keberadaan hukum ini dimulai pada saat alam semesta ini ada dan akan berakhir pada hari kiamat kelak. Dan pada zaman apa pun, hukum ini tetap berlaku dan tidak mengalami perubahan.
Kedua, universal. Hukum ini berlaku pada setiap ciptaan Tuhan. Di mana pun berada, bagaimana pun wujud ciptaan itu, hukum ini berlaku baginya. Mempercayai atau tidak mempercayai keberadaan hukum ini, jika masih berada di alam semesta ini, hukum ini tetap bekerja baginya.
Ketiga, sempurna. Karena kesempurnaannya, kerja hukum ini tak dapat diganggu gugat, diubah atau dipaksa berubah. Sifatnya konstan dan tidak berubah dari zaman ke zaman. Hukum ini hanya dapat ditaklukkan dengan cara mengikuti alur kerjanya, diiringi dengan keikhlasan yang dalam.
Sang buddha mengatakan bahwa segala hal yang ada di dunia ini saling terikat, saling terkait, dan saling memengaruhi. Sebab akibat yang diajarkan Buddha bukan sekadar satu arah, namun lebih kompleks bagaikan jaring laba-laba yang saling terikat dan berpengaruh.
Getaran di satu titik pada bagian jaring, akan memberikan dampak terhadap sekitarnya. Tentunya, yang paling dekat yang menerima dampak yang lebih besar daripada bagian jaring yang jauh. Sama seperti itu pula, setiap tindakan seseorang, akan memengaruhi dan memberikan dampak terutama terhadap orang-orang serta lingkungan sekitarnya. Inilah makna ajaran Buddha yang paling dalam dan khas, “kesalingterkaitan antar segala sesuatu” (paticcasamupada).
Ajaran Buddha juga tidak mengenal “diri” atau roh kekal pada diri seseorang. Sang Buddha mengajarkan bahwa segala yang ada di dunia selalu mengalami perubahan, sehingga tidak memerlukan suatu “diri” yang tetap. Ketidaktahuan dan kebodohan karena tidak dapat menerima perubahan itulah yang dikatakan Buddha sebagai penderitaan (dukkha).
Karena tidak adanya “diri” yang tetap, Buddha mengajarkan bahwa lakukan hal-hal yang baik demi diri sendiri maupun orang lain. Bukan hanya demi diri sendiri, namun juga demi orang lain. Bukan pula hanya demi orang lain tanpa melatih diri sendiri. Kebahagiaan orang lain sama dengan kebahagiaan diri sendiri.
Itulah harapan Sang Buddha yang terus-menerus membagi ajaran dan cara-cara untuk mendapatkan kebahagiaan sebenarnya, selama 45 tahun Beliau menyebarkan ajaran (Darma) demi orang banyak.
Dengan demikian, darma itulah kuncinya (keikhlasan). Jika tugas penyuntingan dimaknai sebagai darma, maka satu-satunya pilihan adalah menjadikan sebuah karya itu bagus, dengan semangat pengabdian. Itulah spirit seorang editor.

Generasi Ghuraba

Oleh Wiyanto Suud
Tulisan ini dimuat di “Hikmah” Republika, 26 Juni 2010
Rasulullah bersabda, "Islam bermula dalam keadaan asing, dan akan kembali terasing seperti semula, maka beruntunglah orang-orang yang terasing (al-Ghuraba)." (HR. Muslim dari Abu Hurairah, hadits mutawatir).
Keterasingan yang dimaksud dalam hadits ini, bisa dibagi menjadi dua. Pertama, ketika Allah menurunkan agama Islam kepada Nabi Muhammad SAW. Agama Islam menjadi terasing, karena mengajarkan tauhid yang murni. Bagi kaum jahiliyah saat itu, Islam dianggap sesuatu yang aneh dan asing.
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa keterasingan Islam yang pertama ini terjadi hanya pada permulaannya. Dengan perjuangan yang gigih dan tak kenal lelah, hingga membuahkan hasil yang menggembirakan. Bahkan, manusia pun akhirnya berbondong-bondong masuk agama Allah, dan bertasbih dengan memuji serta memohon ampun kepada-Nya (QS. An-Nashr: 1-3).
Sejak saat itulah, Islam berkembang pesat ke seluruh penjuru dunia dan hilanglah periode keterasingan pertama ini. Maka Allah pun menyatakan bahwa agama Islam telah sempurna, dan paripurna pula tugas Rasulullah SAW (QS. Al-Maidah: 3).
Keterasingan kedua, yaitu setelah Islam berkembang pesat ke seluruh dunia. Islam menjadi asing bukan karena jumlah umatnya yang sedikit. Seperti saat ini, jumlah umat Islam di seluruh dunia mencapai 1,57 miliar jiwa, atau sekitar 23 persen dari total penduduk dunia (6,8 miliar jiwa).
Ibnu Taymiyah menjelaskan bahwa keterasingan yang kedua ini terjadi ketika berkembangnya bidah, dan umumnya manusia tidak mengenal sunah. Ketika ditanya siapakah orang-orang yang terasing itu, Rasulullah SAW menjawab, "Orang-orang yang mengadakan perbaikan ketika manusia sudah rusak, orang yang maksiat lebih banyak daripada orang yang taat." (HR. Ahmad)
Hasan al-Bashri mendeskripsikan keterasingan periode ini dengan ungkapan, "Orang mukmin di dunia kala itu seperti orang asing yang tidak risau terhadap kehinaannya dan tidak mau bersaing untuk mendapatkan kemuliaannya, karena ia memiliki suatu urusan sedangkan orang lain memiliki urusan yang lain."
Meskipun kaum itu terasing, tetapi merekalah yang mendapatkan keberuntungan. Para Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata thuba. Ada yang mengatakan bahwa thuba berasal dari kata thayyib (baik), sehingga hadis tersebut diartikan dengan balasan kebaikan yang akan diberikan kepada orang-orang yang terasing. Yang mencakup segala kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a'lam.

Senyum itu Sedekah

Oleh Wiyanto Suud
Tulisan ini dimuat di “Hikmah” Republika, 18 Mei 2010
Rasulullah SAW bersabda bahwa anak keturunan Adam memiliki kewajiban untuk bersedekah setiap harinya sejak matahari mulai terbit. Seorang sahabat yang tidak memiliki apa pun untuk disedekahkan bertanya, "Jika kami ingin bersedekah, namun kami tidak memiliki apa pun, lantas apa yang bisa kami sedekahkan dan bagaimana kami menyedekahkannya?"
Rasulullah SAW bersabda, "Senyum kalian bagi saudaranya adalah sedekah, beramar makruf dan nahi mungkar yang kalian lakukan untuk saudaranya juga sedekah, dan kalian menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat juga sedekah." (HR Tirmizi dan Abu Dzar).
Dalam hadis lain disebutkan bahwa senyum itu ibadah, "Tersenyum ketika bertemu saudaramu adalah ibadah." (HR. Trimidzi, Ibnu Hibban, dan Baihaqi).
Salah seorang sahabat, Abdullah bin Harits, pernah menuturkan tentang Rasulullah SAW, "Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebih banyak tersenyum daripada Rasulullah SAW." (HR. Tirmidzi).
Meskipun ringan, senyum merupakan amal kebaikan yang tidak boleh diremehkan. Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apa pun, sekalipun itu hanya bermuka manis saat berjumpa saudaramu." (HR Muslim).

Mungkin kita sering berpikir bahwa sedekah itu berkaitan erat dengan harta benda seperti pemberian uang, pakaian, atau apa pun yang bisa langsung dinikmati penerima dalam bentuk materi. Hal itu juga mungkin yang ada dalam pikiran para sahabat Rasulullah SAW, sehingga mereka sangat gelisah kemudian mempertanyakannya.
Karena itu, tidak semestinya seorang Muslim membiarkan satu hari pun berlalu tanpa dirinya terlibat dalam kegiatan bersedekah. Jika kita punya wawasan sempit mengenai pengertian bersedekah, tentulah hal itu menjadi mustahil.
Di antara keistimewaan sedekah adalah menolak bala (musibah). Dari Sayyid Ali Ar-Ridha, dari Sayyid Ja'far Ash-Shadiq, dari Sayyid Ali Zainal Abidin, dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu Anhum, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sedekah itu dapat menghindarkan diri dari kematian yang tidak baik, menjaga diri dari tujuh puluh macam bencana."
Imam Ibnul Qoyyim RA dalam bukunya al-Wabil ash-Shayyib berkata, "Sesungguhnya sedekah bisa memberikan pengaruh yang menakjubkan untuk menolak berbagai bencana, walaupun pelakunya orang yang Fajir (pendosa), zalim, atau bahkan orang kafir."
Senyum yang diberikan dari seseorang yang tulus, akan lahir sebuah simpati. Dari simpati maka timbul kesan yang baik. Dengan demikian, senyum bukan sekadar suatu formalitas atau aktivitas kemanusiaan semata. Tersenyum adalah ibadah. Siapa yang melakukannya, akan memperoleh pahala, dan dijauhkan dari balak. Wallahu a’lam

Cinta Rabiah Al-Adawiyah

Oleh Wiyanto Suud
Tulisan ini dimuat di “Hikmah” Republika, 1 Mei 2010
Rabiah binti Ismail Al-Adawiyah adalah wanita sufi ternama dalam sejarah Islam. Ia dikenal sebagai pengagum cinta (mahabbatullah) dan dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Lahir sekitar tahun 713 Masehi--masa awal kurun kedua tahun Hijriah--di Kota Basrah Irak.
Suatu ketika, Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang hidup sezaman dengan Rabiah, mengajukan pinangan kepadanya. Tapi pinangan itu ditolak. Rabiah mengatakan, “Wahai saudaraku, carilah perempuan lain. Apakah engkau melihat adanya satu tanda-tanda sensualitas dalam diriku?”
Di lain waktu, datanglah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basrah (w 172 H) juga pernah mengajukan pinangannya. Untuk menarik hati Rabiah, ia memberi iming-iming mahar perkawinan sebesar 100 ribu dinar dan menjanjikan 10 ribu dinar tiap bulan dari pendapatannya.
Tapi Rabiah menjawab, “Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadi budakku dan semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkau akan menarikku dari Allah meskipun hanya untuk beberapa saat.” Dan terakhir, tawaran itu datang dari sahabatnya sendiri, Hasan Al-Bashri. Rabiah setuju tapi dengan empat syarat.
Pertama, Rabiah bertanya, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.”
Kedua, “Pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.”
Ketiga, “Pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab), semua orang akan menerima buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimana denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?” Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Mahatahu.”
Keempat, “Pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi menjawab dengan jawaban yang sama. Karena memang hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi. Rabiah lebih memilih Allah sebagai Kekasih sejatinya daripada makhluk-makhluk-Nya. Wa Allahu a'lam.

Berjaya di Usia Senja

Oleh Wiyanto Suud
Tulisan ini dimuat di “Hikmah” Republika, 13 April 2010
Orang yang lanjut usia sering kali dianggap beban bagi keluarga daripada tumpuan. Kita juga sering mendengar dan menyaksikan, baik dari media cetak maupun elektronik --bahkan dalam kehidupan sehari-hari-- ulah dan kenakalan para lansia. Semakin tua, semakin buruk perangainya. Padahal, bagi mereka itu telah banyak kenikmatan yang dikurangi oleh Allah SWT.
Syahdan, suatu ketika Ma'an bin Zaidah mendatangi Al-Makmun. Al-Makmun bertanya, “Bagaimana keadaanmu di usia tua renta ini?” Ia menjawab, “Aku bisa jatuh hanya karena tersandung kotoran unta, dan cukup diikat hanya dengan sehelai rambut.”
Al-Makmun bertanya lagi, “Bagaimana tanggapanmu terhadap makanan, minuman, dan tidurmu?” Ia menjawab, “Bila lapar, aku marah; dan bila makan, aku merasa jengkel; bila berada di antara orang-orang, aku mengantuk; dan bila di atas kasur, aku terjaga.”
'Bagaimana pendapatmu tentang para wanita?” Ia menjawab, “Kalau wanita yang buruk rupa, aku tidak menginginkan mereka; sedangkan para wanita yang cantik, mereka tidak menginginkanku.” Al-Makmun berkata, “Kalau begitu, tidak pantas orang sepertimu dianggap muda.”
Sungguh amat keterlaluan bagi orang-orang yang sudah lanjut usia, tapi masih juga melakukan maksiat. Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT tidak akan menerima dalih seseorang sesudah Dia memanjangkan usianya hingga 60 tahun.” (HR Bukhari).
Oleh karena itu, Allah memberi pujian kepada mereka yang berusia senja, tapi masih tetap menjaga keimanannya. Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah menyampaikan firman Allah SWT, “Demi kemuliaan-Ku, keagungan-Ku, dan kebutuhan hamba-Ku kepada-Ku, sesungguhnya Aku merasa malu menyiksa hamba-Ku, baik laki-laki maupun perempuan, yang telah beruban karena tua dalam keadaan Muslim.”
Tua dalam keadaan Muslim yang dimaksud dalam hadis Qudsi di atas adalah orang yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik orang di antara kalian ialah yang panjang umurnya dan baik pula amalannya.” (HR Tirmidzi).
Dengan demikian, kebahagiaan di akhirat harus dicapai dengan bekal pahala yang banyak dari amal saleh yang sebanyak-banyaknya. Rasulullah telah memberikan resep tentang amal yang pahalanya akan terus mengalir meskipun kita sudah meninggal dunia.
Rasul SAW bersabda, “Apabila seorang anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim).
Inilah rahasia keberkahan usia yang terus bertambah, dan tetap mengalir pahala kebaikannya. Ibarat sebuah aset, kita tinggal menikmati keuntungan dan kejayaan kita.

Meraih Surga Ibu

Oleh Wiyanto Suud
Tulisan ini dimuat di “Hikmah” Republika, 20 Maret 2010
Syahdan, seorang laki-laki suatu ketika bertanya kepada Ibn Abbas RA, “Saya meminang seorang wanita, tetapi dia menolak pinangan saya. Setelah itu, datang orang lain meminangnya, lalu dia menerimanya. Saya menjadi cemburu dan membunuhnya. Apakah tobat saya diterima?”
Ibn Abbas bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?” Dia menjawab, “Tidak.” Ibn Abbas berkata, "Bertobatlah kepada Allah dan mendekatlah kepada-Nya semampumu." Atha' bin Yasar yang hadir ketika itu bertanya kepada Ibn Abbas, "Mengapa engkau bertanya kepada lelaki itu, apakah ibunya masih hidup?" Ibn Abbas menjawab, "Saya tidak tahu perbuatan yang paling mendekatkan (seseorang) kepada Allah SWT, melainkan berbakti kepada ibu." (HR. Bukhari).
Demikian mulia kedudukan seorang ibu. Di antara bapak dan ibu, ibulah yang lebih berhak untuk menerima perhatian dari seorang anak. Tidak hanya itu, dalam sebuah sabda Nabi Muhammad SAW yang masyhur, ibu memiliki hak tiga kali lipat lebih besar daripada seorang bapak.
Ada beberapa alasan mengapa seorang ibu memiliki hak tiga kali lipat lebih besar daripada seorang bapak. Pertama, seorang ibu menanggung berbagai kesusahan, baik ketika mengandung maupun melahirkan. Bahkan, ketika anaknya sudah berumur empat puluh tahun pun, perhatian seorang ibu tidak pernah berhenti, ia terus mendoakan anaknya (QS. Al-Ahqaf [46]: 15).
Kedua, kesusahan ketika mengandung itu bertambah dan semakin bertambah (QS. Luqman [31]: 14).
Ketiga, kesusahan seorang ibu mencapai puncaknya ketika hendak melahirkan. Alquran memberi gambaran betapa sakit waktu melahirkan dengan ungkapan bahwa Maryam binti Imran menginginkan kematian atau menjadi barang yang tidak berarti (QS Maryam [19]: 23).
Keempat, setelah melahirkan, kewajiban ibu belum selesai. Ia harus menyusui dan merawat anaknya. Ia tidak akan pernah merasa tenang jika keselamatan dan kenyamanan sang anak terancam. Hal ini seperti ibu dari Nabi Musa AS ketika ia diperintahkan Allah untuk menghanyutkan anaknya di sungai (QS. Alqashash [28]: 7-13).
Empat perkara ini cukup menjelaskan mengapa Allah dan Rasul-Nya menempatkan derajat ibu lebih tinggi daripada bapak. Bahkan, surga--sebagai sebaik-baik tempat kembali bagi manusia sesudah mati--diasosiasikan berada di bawah telapak kaki seorang ibu.

Berdamai dengan Masa Lalu

Oleh Wiyanto Suud
Tulisan ini dimuat di “Hikmah” Republika, 6 Maret 2010
Belenggu masa lalu sering kali menghalangi seseorang untuk maju. Belenggu itu bisa berupa pengalaman buruk karena kelalaian dan kesalahan; bisa juga berupa romantisme sejarah karena prestasi dan kejayaan di masa silam. Padahal, nilai kehidupan seseorang ditentukan oleh apa yang telah ia kerjakan. Allah SWT berfirman, “Dan kamu tidak dibatasi, kecuali dengan apa yang telah dikerjakan.” (QS. Yasin [36]: 54)
Imam Al-Ghazali pernah bertanya kepada murid-muridnya tentang sesuatu yang paling jauh dari keberadaan mereka sekarang. Di antaranya, ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Ia lalu menjelaskan bahwa semua jawaban itu benar, tapi yang paling benar adalah masa lalu. Karena, masa lalu tidak akan pernah kembali lagi.
Oleh sebab itu, setiap orang haruslah menyikapi masa lalunya secara arif. Kearifan di sini bisa dianalogikan dengan seorang sopir. Ketika mengendarai mobil, si sopir sesekali melihat kaca spion. Kaca spion digunakan untuk melihat dan mengantisipasi kondisi di belakang kendaraan, agar perjalanan ke depan berjalan mulus. Meski rutin melihat spion, fokus pandangan sopir tetap ke depan.
Demikianlah gambaran bagaimana seharusnya manusia menyikapi sejarah dan masa depannya. Ia tidak menafikan sejarah masa lalunya, tetapi justru menjadikannya acuan untuk membangun kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah, dan hendaklah setiap jiwa melihat apa yang telah ia lakukan untuk masa depannya." (QS. Al-Hasyr [59]: 18).
Mengenai masalah ini, Imam Hasan Bashri berwasiat, “Tidaklah ada satu hari pun di mana fajar merekah, kecuali si hari berseru, 'Wahai anak Adam, aku adalah makhluk yang baru, dan menjadi saksi atas perbuatanmu. Maka ambillah bekal dariku, karena aku tidak akan pernah kembali sampai hari kiamat kelak.’”
Oleh karena itu, kalau kita bisa berdamai dengan masa lalu, kita bisa terlepas dari belenggu. Kita bisa melangkah maju tanpa beban, lebih dinamis, dan penuh dengan sikap optimis. Ketika selesai dari satu pekerjaan, hendaknya setiap orang dari kita segera beralih melakukan pekerjaan baru. Dan, mengerjakan segala sesuatu itu dengan sungguh-sungguh. (QS. Al-Insyirah [94]: 7)

Kekuatan Hasbalah

Oleh Wiyanto Suud
Tulisan ini dimuat di “Hikmah” Republika, 18 Februari 2010
Manusia tidak akan pernah mampu melawan setiap bencana, menaklukkan setiap derita, dan mencegah setiap malapetaka dengan kekuatannya sendiri. Mereka akan mampu menghadapi semua itu dengan baik, hanya jika menyerahkan semua perkara kepada Allah SWT.
Jika demikian halnya, maka kalimat hasbalah merupakan salah satu ucapan terbaik bagi yang senantiasa mengharapkan pertolongan-Nya. Kalimat hasbalah berbunyi Hasbunallah wa ni'mal wakil ni'mal maula wa ni'mal natsir (cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung).
Bacaan hasbalah itu pula yang diucapkan oleh Rasulullah SAW ketika sedang kesulitan akibat pengepungan selama beberapa minggu oleh pasukan Ahzab dalam perang Khandaq di Kota Madinah. Dengan bacaan tersebut, Rasul SAW dan umat Islam pun keluar sebagai pemenang.
Alquran mengabadikan peristiwa tersebut dalam surat Ali Imran [3]: 173, “Yaitu orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, 'Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.' Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, 'Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung'.”
Syahdan, tatkala Nabi Ibrahim AS dilemparkan ke dalam lautan api oleh para pengikut Raja Namrud bin Kan'an, ia mengucapkan Hasbunallah wa ni'mal wakil , dan api pun tiba-tiba menjadi dingin. Ini diberitakan oleh Rasulullah SAW, “Akhir kalimat yang diucapkan oleh Ibrahim ketika dicampakkan ke dalam api ialah hasbunallah wani'mal wakil.“ (HR. Bukhari).
Dikisahkan, ketika Nabi Ibrahim AS mulai dimasukkan ke dalam kobaran api, Jibril datang dan berkata, “Apakah engkau butuh aku?” Ibrahim menjawab, “Kalau kepadamu tidak, tapi kalau kepada Allah, ya.” Kemudian Allah SWT berfirman, "Kami berfirman, 'Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim'." (QS Al-Anbiyaa' [21]: 69).
Menurut Ibnu Katsir, kalimat hasbalah juga diucapkan oleh 'Aisyah RA ketika ia mengharapkan pertolongan Allah, di saat kabar bohong ( haditsul ifqi ) tentang dirinya beredar. Hal itu direkam dalam surat An-Nur [24]: 11-26).
ejarah telah memberitakan kekuatan hasbalah yang diucapkan oleh para nabi dan orang-orang saleh, ketika mereka menghadapi cobaan besar ataupun fitnah yang berat. Kekuatannya melebihi kekuatan apa pun di dunia ini, serta menegaskan semangat tauhid pada diri orang yang mengucapkan. Yaitu bahwa hanya kepada Allah sajalah ia berserah diri, dan bahwa semua makhluk di sisi-Nya adalah lemah.

Kekuatan Basmalah

Oleh Wiyanto Suud
Tulisan ini dimuat di “Hikmah” Republika, 26 Januari 2010
Ayat yang pertama kali diturunkan berbunyi, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan,” (QS Al-'Alaq [96: 1). Perintah membaca yang disebutkan dalam ayat ini, mengharuskan dimulainya setiap pekerjaan dengan nama Allah.
Menurut Ibnu Abbas, hakikat dari perintah iqra' pada ayat pertama itu adalah perintah untuk membaca basmalah . Dan basmalah merupakan satu-satunya ayat yang hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan Nabi Sulaiman AS, seperti disebutkan dalam surah An-Naml [27] ayat 30.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Buraidah, Rasulullah bersabda, “Telah diturunkan kepadaku satu ayat yang tidak pernah diturunkan kepada seorang nabi pun selain Nabi Sulaiman dan aku, yaitu Bismillahir rahmanir rahiim.”
Utsman bin Affan pernah bertanya tentang basmalah , maka Beliau SAW menjawab, “Sesungguhnya ia adalah salah satu dari nama-nama Allah yang agung, begitu dekatnya basmalah dengan nama Allah seperti dekatnya biji mata yang hitam dengan biji mata yang putih.”
Menurut penjelasan para ahli tafsir, setidaknya ada empat makna yang terkandung dalam basmalah. Pertama, kata bi kalau dikaitkan dengan “kekuasaan dan pertolongan”, maka si pengucap menyadari bahwa pekerjaan yang dilakukannya terlaksana atas kekuasaan Allah. Ia memohon bantuan-Nya agar pekerjaannya dapat terselesaikan dengan baik dan sempurna.
Kedua, rahasia penting mengapa basmalah didahulukan bagi semua pekerjaan, erat kaitannya dengan prinsip “la ilaha illa Allah“. Yakni, dengan menjadikan Allah sebagai sebab utama dalam semua tindakan.
Ketiga, Allah adalah Zat yang wajib ada, satu-satunya yang mempunyai hak segenap pujian, dan nama termulia yang pernah ada. Tatkala seorang Muslim menyebut nama Allah dalam basmalah, berarti dia telah mendeklarasikan nama teragung di semesta.
Keempat, ada dua sifat kesempurnaan yang ditekankan dalam basmalah , ar-Rahman dan ar-Rahim. Ar-Rahman adalah curahan rahmat-Nya secara aktual yang diberikan di dunia ini kepada semua makhluk-Nya. Sedangkan ar-Rahim adalah curahan rahmat-Nya di akhirat kelak kepada mereka yang beriman.
Secara akidah, mengucapkan basmalah merupakan bentuk permohonan dan penghambaan. Maka, akan tertanam dalam diri kita rasa lemah di hadapan Allah SWT. Namun, pada saat yang sama, tertanam pula kekuatan, rasa percaya diri, dan optimisme karena merasa memperoleh bantuan dan kekuatan dari Allah. Apabila suatu pekerjaan dilakukan atas bantuan Allah, pasti ia sempurna, indah, baik, dan benar karena sifat-sifat Allah “berbekas” pada pekerjaan tersebut.