Tulisan ini dimuat di Majalah Gontor, Rubrik
Mahfuzhat, edisi Oktober 2012
Oleh Wiyanto Suud
Alumni KMI Gontor 2000
Seseorang akan hidup dengan baik, selama memiliki rasa
malu
Dan batang pohon akan tetap segar, selama ada kulitnya
Demi Allah, tiada kebaikan dalam hidup
Dan tiada arti dunia, bila malu telah sirna
Jika kau tidak takut dengan siksa akhirat
Dan tidak malu, maka perbuatlah sesukamu
—Abu Tamam (w 231 H)
Selama
ini, mungkin kita sering mendengar atau mengelu-elukan kalau Indonesia ini
negeri yang sangat subur, negeri yang sangat kaya akan SDA, bahkan tongkat
ditancapkan saja tumbuh menjadi tanaman. Cak Nun sering mengatakan bahwa
seolah-olah surga itu bocor dan turun ke dunia menjadi sepenggal tanah bernama
Indonesia.
Karena itu, kita sering mengukur
kemajuan atau kesuksesan—baik itu individu, organisasi, maupun bangsa—dengan
pendekatan pada sumber daya, tapi menjauhkan dari budaya hidup positif dalam
kehidupan sehari-hari. Kekayaan yang melimpah ruah pun menjadi tidak ada
artinya karena mental SDM kurang mumpuni. Contoh yang paling sederhana adalah
hilangnya budaya malu.
Bisa dibayangkan, jika rasa malu
itu telah hilang dalam diri seseorang, segala perilakunya makin sulit
dikendalikan. Dia akan melakukan berbagai perbuatan tak terpuji, seperti
korupsi, menyontek, menipu, dan lain sebagainya. Hilangnya rasa malu merupakan
awal datangnya bencana bagi diri orang yang bersangkutan dan orang lain di
sekitarnya.
Jika
mau menggali, sebenarnya kita memiliki tradisi rasa malu yang mengakar di
tengah masyarakat. Adat Minangkabau mengatakan “Raso jo pareso”.
Artinya, rasa malu orang Minangkabau harus tinggi. Dari rasa malu, timbul sikap
sopan. Kalau orang Minangkabau tidak lagi memiliki rasa malu, maka hilanglah
keminangannya.
Kita
juga mengenal budaya “Siri' na pacce” yang menjadi salah satu falsafah budaya
masyarakat Bugis. Bagi masyarakat Bugis, siri' mengajarkan moralitas
kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban. Siri' adalah
rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia. Siri'
adalah sesuatu yang “tabu” bagi masyarakat Bugis dalam berinteraksi dengan
orang lain.
Dalam sebuah mahfuzhat, Abu Tamam
membuat perumpamaan seseorang yang tidak memiliki rasa malu itu seperti pohon
yang tidak memiliki kulit. Selain sebagai media melakukan fotosintesis, kulit
pohon merupakan pelindung batang kayu di dalamnya. Selama masih ada kulitnya,
maka pohon itu akan tetap segar dan subur.
Makna kiasnya, seseorang yang
tidak memiliki rasa malu sama halnya dia tidak memakai baju. Peradaban mana
pun, pasti tidak membenarkan seseorang yang tidak memakai baju berkeliaran di
mana-mana. Justru mereka yang memakai baju serba minim, cenderung diidentikkan
dengan suku-suku primitif di pedalaman. Jadi, baju adalah simbol peradaban.
Abu Tamam juga mengingatkan:
Jika kau
tidak takut dengan siksa akhirat
Dan
tidak malu, maka perbuatlah sesukamu
Setidaknya, ada tiga makna yang
terkandung dalam bait ini. Pertama, pembolehan. Artinya, jika
engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihat dan perhatikan. Jika perbuatan itu
merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah SWT dan
manusia, maka lakukanlah. Sebaliknya, jika tidak, maka tinggalkanlah.
Kedua,
penjelasan. Artinya, orang yang tidak memiliki rasa malu akan larut dalam
perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi oleh
orang-orang yang mempunyai rasa malu. Karena sesuatu yang menghalangi seseorang
untuk berbuat buruk adalah rasa malu.
Ketiga,
peringatan dan ancaman. Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka
berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan
yang setimpal dengan perbuatanmu itu—baik di dunia maupun di akhirat.
Jadi,
malu pada
hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak untuk
menghias diri dengan akhlak mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang
hina. Malu adalah kebaikan seluruhnya. Karena itu, Abu Tamim
mengatakan, “Demi Allah, tiada kebaikan dalam
hidup. Dan tiada arti dunia, bila malu telah sirna.